Bab 1 Wanita Huruf B

Mulai dari awal
                                    

“Udahlah, Bu. Pesawatnya penuh! Tuh Bapak di depan udah bangun dan celingak-celinguk di depan! Tidur aja, Bu!” tegur penumpang di sebelahnya yang merasa tak nyaman.

“Iya Bu, nggak bakalan ilang kok!” timpal yang lain.

Oke, suasana mulai ricuh. Aduh, nggak ngantuk apa, Dear Passangers? Crying!

“Harap tenang, Bapak dan Ibu,” kataku berusaha menenangkan suasana. Nggak enaklah nanti didengar penumpang lain.

Kalau mereka nggak nyaman siapa yang ditegur? Awak kabinlah! Aku dong, heuheu!

Astagfirullah … ampunilah kesalahankuu, huuuuuu,” Si nenek itu tersedu sambil menengadahkan tangan ke angkasa, padahal kami juga di angkasa.

Para penumpang lain menatap si nenek dengan pandangan ilfeel, kesal, pengen nampol gitulah. Gimana nggak kesal, dari tadi udah bikin keributan cuma karena sandal. Udah samperin olehku hingga rekan yang lain, masih aja teteup ngeyel. Ya udahlah, bisa apa. Mungkin ini kali pertama beliau naik pesawat.

Fix, suasana mulai lengang setelah dialog drama yang dilontarkan si nenek tadi. Hupmt! Aku berjalan pelan menuju galley belakang. Kembali duduk letih di jumpseat setelah menarik kesabaranku lagi barusan. Memang beginilah pekerjaanku, menyenangkan ya melelahkan.

Pramugari itu ya gini, berusaha sabar saat hati terasa kesal. Emosi harus ditata sebaik mungkin agar tak memberi kesan buruk yang berujung pada teguran pada maskapai. Masalah me versus pax alias aku lawan penumpang mungkin akan menghiasi curhatanku di sepanjang cerita.

Well, bercerocos panjang lebar dari tadi hingga aku lupa memperkenalkan nama. Perkenalkan wanita berseragam tosca dengan wajah lelah tapi dicantik-cantikkan ini bernama Bridgia. Lengkapnya, Bridgia Gantari Hyacinta. Sungguh pandai Papi dan Mami memberiku nama, kata mereka nama yang bagus.

Bridgia artinya sumber kekuatan dan penghubung yang kuat. Gantari artinya menyinari, dan Hyacinta adalah nama bunga yang cantik dan wangi. Biasa aku disapa Brie, nggak usah dikasih huruf ‘O’, nanti jadi merek mobil.

Korelasi antara nama dan sifatku mungkin ada. Aku cukup kuat dan sabar menghadapi masalah yang datang dalam pekerjaanku. Itu benar, pramugari adalah profesi yang berhubungan dengan banyak orang. Bertemu dengan orang baru yang punya karakter beda-beda. Melayani orang yang baru bertemu, kenal aja belum tentu. Kalau bukan karena pengabdian, apalagi dong motifnya?

Selain itu, aku punya sisi lain yakni, keras kepala dan terbiasa mandiri. Dalam diriku ada dua sisi yang sedikit berbeda.

“29H lagi?” bahas Icha, rekan di penerbangan ini sambil duduk di sebelahku.

Aku mengangguk letih. “Iya, Cha. Kayaknya dia sakit gitu, tapi anaknya tega lepas dia sendiri naik pesawat.”

“Serius?” lonjak Icha.

“Iya,” aku mengangguk pelan. “Tadi ada info dari staf ground, kalau kita bawa pax satu yang sakit stroke. Dan itu pasti 29H.”

“Pantes!” timpal Icha pendek.

Tung!”

Lampu itu menyala lagi, daaan 29H lagi dong! Belum selesai juga sih dramanya. Iya sih beliau sakit, tapi ngeselinnya itu lho! Nggak bisa ya besok aja ketika matahari udah terbit dan menyapa Jayapura gitu? Yaps, sebab kami ada di penerbangan rute Yogyakarta – Jayapura.

“Gue aja!” putus Icha karena melihat wajahku kusam, kusut kayak gombalan belum disetrika.

Thanks,” balasku sambil melongok ke sisi kabin.

Icha berjalan cepat, sebab energinya masih penuh. Menghampiri si nenek dengan wajah curam, karena aslinya Icha sedikit judes. Nggak tahu mereka ngomongin apa, tapi kurang lebihnya sama.

Mencari sandal yang hilang! Huh, haruskah kusuruh semua penumpang di depan si nenek berdiri? Kerja sama cari sebuah sendal di pukul 12 malam di ketinggian 36.000 kaki kayak gini? Boleh aja, kalau aku mau ngerasain dilempar dari jendela darurat seketika!

Gerimis Bulan Desember // Tamat // EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang