Bab 1 Wanita Huruf B

14.9K 1.4K 108
                                    

“Mami kalau masak daging pakai metode 5:30:7 aja. Nyalakan api 5 menit, lalu tunggu 30 menit, dan nyalakan api lagi 7 menit. Pasti cepet empuk dan lebih hemat gas.”

“Makasih ya tipsnya, Dek. Beneran cepet empuk deh!”

“Iya sama-sama, Mi!”

Kalau Kalian dengar percakapan itu, apa aku terlihat seperti koki? Mungkin.

Dek, obat diare apaan, ya? Papi sakit perut.”

“Habis makan apaan, Mi?”

“Kayaknya sih rujak manis buatan mbakmu.”

“Coba buatin oralit, Mi. Enam sendok teh gula pasir dan setengah sendok teh garam larutkan dalam seliter air. Minum satu gelas setiap 4 – 6 jam sekali. Mami bisa kasih Papi pisang. Kalau nggak membaik ke dokter aja, Mi.”

Tak berapa lama. “Manjur, Dek. Papi udah enakan.”

Kalau percakapan ini, apa aku terlihat seperti dokter atau praktisi kesehatan? Mungkin.

“Mas gagal lagi sama dokter itu, Dek. Nggak tahu lagi deh, kenapa dia marah-marah terus ke Mas. Padahal Mas udah pengertian terus, ngalah terus.”

“Mas pernah bahas tentang keseriusan, nggak? Wanita tuh suka diseriusin lho. Apalagi kalau udah usia siap nikah, pasti bahasnya mau yang serius terus. Tunangan atau nikah gitu.”

“Eh, iya juga ya? Abis masih ragu ajak dia nikah, Dek. Takut aja dia nggak bisa nerima profesi Mas.”

“Kan belum dicoba, masa udah takut, Mas?”

“Oke deh. Makasih saranmu, Dek.”

“Sip, Mas!”

Kalau percakapan yang ini, apa aku terlihat seperti seorang psikolog? Mungkin.


Oke, mungkin saja aku bisa seorang koki, dokter, atau psikolog. Nyatanya, aku adalah ….

“Tung!”

Sebuah bel kecil berbunyi. Membuyarkan lamunan mata lelah ini. Sebuah panggilan berasal dari seat 29H kembali membuatku tak bisa istirahat di malam ini. Aku menyeret kakiku yang lelah dan sedang terbalut sendal kerja menuju kursi itu. Berusaha menata wajah sabar walau lelah luar biasa. Penumpang satu ini tak ingin aku cepat merem sepertinya.

Semangat, karena nyatanya aku seorang pramugari!

“Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanyaku sabar.

“Mbak, saya minta tolong. Sendal jelek butut saya, ada di bawah Bapak itu. Tolong ambilkan, Mbak. Saya takut hilang,” keluh Ibu yang mungkin lazim disebut nenek itu.

Yaps, penumpang 29H seorang nenek berusia sekitar 65 tahun. Berpenampilan formal dengan kebaya tipis yang dibalut jaket rajut dan rok jarik batik. Wajahnya terlihat bingung sendiri karena mengeluh kehilangan sandal. Sementara itu, penumpang di sekitarnya terlihat tak nyaman.

Mungkin perasaan penumpang lain sama denganku. Bagaimana bisa nyaman, ini sudah puluhan kali beliau ini memanggilku dan awak yang lain. Hanya untuk apa? Mencarikan sandal ‘buluk’ miliknya. Yang aku sendiripun nggak tahu ada di mana. Belum lagi ini sudah pukul 12 malam, waktu setempat, di ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan air laut. Kami ada di atas udara, Kawan!

Sungguh sebuah keanehan yang harus kusabari, huh!

Berusaha tersenyum sabar. “Maaf Ibu, penumpang sedang penuh dan Bapak di depan sedang beristirahat. Nanti kalau sudah mendarat akan saya carikan.” Ucapku kalem.

“Mbak, sendal butut saya! Nanti hilang. Mbak, minta tolonggg!” wops, bahkan si nenek berusaha menjangkau tanganku memohon-mohon.

Aku berusaha tersenyum netral dan tentunya sangat suabar! “Maaf Ibu, lebih baik Ibu istirahat. Nanti pasti saya carikan kalau sudah mendarat.” Aku meraih tangan beliau berusaha ramah.

Gerimis Bulan Desember // Tamat // EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang