5

33 4 0
                                    

Sore yang indah, langitnya berwarna jingga dengan rona kemerahan. Ditambah awan yang tidak terlalu mendominasi langit, membuat gradasi yang nyaman dipandang. Angin semilir menyapu pelan surai hitam pria yang di sana, di salah satu balkon apartemen. Uap dari secangkir kopi yang dipegangnya ikut bergerak mengikuti irama.

"Lihat langit di sana?"

Sang pria bersandar di pinggiran balkon. Salah satu tangannya menunjuk ke arah langit.

"Ya."

Lawan bicara yang berdiri di sampingnya mengangguk.

"Bagaimana pendapatmu?"

Seperti lukisan. Hmm, percampuran warna-warna itu tampak sangat kontras di mata sang android. Tidak mencolok, tidak juga terlalu pudar. Hanya ... seimbang. Komposisinya pas.

"Seperti mahakarya di atas suatu permukaan kanvas."

"Wow, oke. Jawaban itu diluar tebakanku. Hmm ... yang kau kagumi adalah sebuah hasil, bagaimana dengan si pelukisnya sendiri? Pernah terpikirkan untuk memujinya alih-alih hanya mahakaryanya?"

Pencipta langit ...? Itu sesuatu yang baru bagi Seven. Ya, yang ditangkap matanya hanya sang langit, tidak pernah terpikirkan dengan suatu eksistensi di baliknya—lebih tepatnya tertarik. Ia tahu beberapa golongan kaum manusia memercayai suatu eksistensi yang mereka sebut dengan Tuhan, 'kan? Sang Pencipta, Sang Pemurah Hati, dan sebagainya.

Seven di dalam heningnya termenung sejenak.

"Tidak pernah sebenarnya. Tapi aku paham dengan konteks ketuhanan ini. Kalian memberikan kami data-data dari informasi yang dikumpulkan selama berabad-abad lamanya. Kau tahu, seperti sangat banyak mengetahui sesuatu sebelumnya, sehingga tidak ada hal yang tersisa untuk dibalas dengan sebuah kepuasan . Lagi pula, kalian adalah Sang Pencipta bagi kami."

Ia tetap setia menemani Richard ditempatnya bersantai. Angin masih berhembus tenang mengelus wajah tirusnya.

"Jadi, tidak ada 'wah' yang muncul?" Seven mengangguk. Pria di sampingnya hanya manggut-manggut lalu menyesap kopinya. Richard menggaruk tengkuk di atas penutup kepala jaketnya.

"Katakan padaku, kenapa rata-rata dari kalian memercayai eksistensi zat abstrak ini? Juga dengan ajaran-ajaran yang mengikutinya, bukankah itu cukup membatasi kalian? Para manusia seperti makhluk yang menguasai dunia, bahkan memang sebenarnya menguasai. Mengingat jumlah populasi dan tingkat ability yang dimilikinya, " kali ini Seven yang bertanya.

Richard sempat dibuat gelabakan oleh arah pembahasan ini, ia tak menyangka bincang santai senjanya menjadi agenda diskusi filsafat di antara dua makhluk yang berbeda.

"Kau beruntung memiliki lawan bicara yang—paling tidak—memiliki gelar sarjana. Hmm, simpel saja. Aku tidak mau membuat kopiku semakin dingin, jawabanku hanya dua kalimat."

Alis Seven tak terasa naik sedikit.

"Di atas bumi, masih ada langit. Di atas langit masih ada langit."

Seven terdiam sebentar. "Aku tidak mengerti. Tampaknya manusia sangat memahami ini, apakah aku harus menjadi kalian dahulu agar paham?"

"Jangan ... menjadi manusia itu seperti mimpi buruk."

Setelahnya Seven dibiarkan Richard menikmati minumannya.

"Malam akan segera datang, aku tidak mau pagi-pagi melihat android yang mati membeku di balkon. Ayo masuk." 

bebasWhere stories live. Discover now