Chapter {(5+5+5)÷5}

532 99 13
                                    


"Apa kau melihat Heidi ketika makan siang? Astaga, ia membagi bekalnya menjadi lima. Dan ia berhitung ketika memakannya."

"Aku tak ingin Heidi masuk dalam kelompok belajarku, ia sangat aneh."

"Kulihat Heidi memainkan handle pintu dan menghitungnya sampai lima."

"Ia harus masuk rumah sakit jiwa karena tingkah lakunya."

"Heidi adalah seorang pecundang."

Aku duduk bersila diatas tempat tidur. Dahiku mengeryit, kucoba menghiraukan suara-suara yang muncul di kepalaku. Kalimat-kalimat yang sering kudengar ketika SMA. Meskipun sudah berlalu, aku merasa cemoohan-cemoohan itu masih dapat kudengar.

Jangan pikirkan perkataan mereka, Heidi! Aku harus mengalihkan pikiranku! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran! Alihkan pikiran!

Oh! Pikirkan lelaki yang tertidur lelap di student lounge pagi tadi!

Perlahan suara cacian itu menghilang dan tergantikan oleh suara gemericik hujan dari earpods-ku. Begitu tenang.  Mendengarkan suara-suara alam memang terkadang berhasil membuatku sedikit rileks, meskipun ini hanya suara buatan. Ibuku yang menganjurkanku untuk menenangkan diri dengan cara seperti ini, bermeditasi sejenak.

Tenang. Tenang. Tenang. Tenang. Tenang.

Namun ini hanya bertahan sejenak. Suara pintu kamar yang terbuka berhasil mengacaukan pikiranku. Aku mengangkat kedua kelopak mataku dan mengedipkannya selama lima kali.

"Sampai jumpa esok hari," suara itu milik Dayana yang sedang berbicara dengan seseorang yang berada di koridor asrama.

Dayana Erica Cunningham, aku bahkan sudah menghapal nama panjangnya. Ia adalah gadis berkulit gelap dan berambut keriting hitam yang berkilau. Ia sangat pandai merias wajahnya, terlihat dari tampilannya yang sangat berbeda jika tanpa memakai make up. Selain itu, ia pandai memilih pakaian, seperti yang saat ini kulihat. Meskipun ia hanya memakai celana denim dan kaus motif bergaris saja, namun ia terlihat sangat modis.

Berbeda denganku yang hanya memakai kaus longgar dan celana pendek, sangat tidak menarik.

Kemudian Dayana menutup pintu dan melemparkan tubuhnya pada kursi belajarnya sembari menghela napas panjang.

Kulepaskan kedua earpods yang menempel di telingaku. "Se... sepertinya, ini adalah hari yang melelahkan untukmu?" meskipun sedikit ragu, aku mencoba membuka obrolan dengannya.

Dayana meletakan tas yang tergantung di bahunya ke lantai, dan merogoh ponsel dari dalamnya. "Mm-hmm," ia hanya menjawab tanpa menggunakan kata dan sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya.

Ia tak menggubrisku. Aku sedikit menyesal karena mencoba menyapanya. Seharusnya aku diam saja dan berpura-pura melanjutkan meditasiku. Aku memang tak pandai bersosialisasi.

"Bagaimana denganmu?" tanya Dayana tepat sebelum aku kembali memasang earpod-ku.

Aku menyembunyikan senyuman kecilku dengan cara sedikit menunduk. Aku sedikit senang ketika ia menanyaiku.

"Tidak terlalu," aku mencoba bersikap biasa saja ketika menjawab pertanyaannya itu. Aku tak ingin terlihat menjadi seseorang yang sangat berusaha untuk 'berteman'.

Kemudian Dayana meletakan ponsel pada mejanya. "Kau tahu? Kafetaria yang terdapat di gedung barat memiliki muffin yang lezat."

Aku sedikit terkejut ketika kali ini Dayana dengan ramahnya mengajakku berbicara. Dan pada menit-menit berikutnya, entah bagaimana caranya kami berdua mengobrol seakan seperti teman yang sudah sangat lama saling mengenal.

FIVEWhere stories live. Discover now