BAB I

34 3 0
                                    

Myeongdong, Juni 2018

Bisakah kau memberitahuku alasan mengapa aku bisa berada di daerah yang sangat ramai di Seoul ini? Daerah di mana sepanjang jalanan dipenuhi oleh gedung bertingkat rendah dengan hiasan masing-masing yang menjual kebutuhan wajah, tubuh, dan juga jajanan malam yang sangat lezat terakhir kali aku melihatnya di video seseorang di kanal Youtube. Akan tetapi, kudapan yang terjual di siang menjelang sore hari pun tak kalah menggiurkan dengan yang kuingat dari video tersebut.

Musim panas dengan matahari yang walaupun tak seterik pukul 12 tadi tentunya membuat air liurku menetes ketika melihat adanya es krim tinggi yang kutaksir 30 cm tingginya. Dulu aku melihatnya secara virtual dan sekarang hadir tepat di depan mata.

Ada juga gelato berperisa stroberi dengan bentuk bunga mawar yang begitu elegan dan antrean yang lumayan panjang. Selain itu, harga yang dituliskan di spanduk juga menggiurkan dengan potongan harga yang kurasa lumayan membantu isi dompetku.

"Na, kamu mau membeli ini? Kurasa antreannya cukup panjang."

Suaranya menyadarkanku.

Katakanlah aku bodoh dan gila, setelah mengetahui bahwa ternyata lelaki tampan yang kupuji adalah orang yang dengan sepenuh hati kubenci, aku tetap mengikutinya sampai ke sini. Bahkan sudah melakukan perjanjian untuk bersama dengannya.

***

Stasiun Seoul, 60 menit yang lalu

"Namaku Kyun Young Soo. Ah, tapi, kurasa kau lebih sering mendengar Jayden," jawab lelaki tampan itu.

Jayden? Kurasa aku pernah mendengarnya.

Jayden, Jayden.

Tunggu, dia bukan Jayden yang kumaksud kan?

Nama yang sering kudengar berulang kali ketika aku masih kecil. Nama yang familiar tetapi waktu berjalan membuatnya terasa asing diucapkan dan didengar.

"Kau masih syok rupanya. Iya, namaku Jayden Pratama jika kau lupa."

Jawabannya tentu membuatku mengingat suatu kejadian yang ingin kulepas dari ingatanku selamanya. Namun, naas begitu sadar bahwa begitu mendengar namanya secara lengkap berhasil membuatku merasa sedikit takut.

Bukan.

Hilangkan rasa sok tahu kalian bahwa alasanku bergidik ngeri karena dulu dia pernah menolakku. Ini bukan soal cinta. Lagipula, apa yang dimengerti anak 8 tahun mengenai cinta selain cinta monyet?

Rasanya dangkal sekali apabila aku memendam perasaan negatif ini hanya karena suatu hal yang mungkin bisa hilang dengan berlalunya waktu.

Kau tahu mengapa rasa pahit ini terus muncul padahal aku sudah berusaha tidak memikirkannya dalam satu dekade ini?

Alasan ini akan membuka kembali luka batinku.

Luka itu ada karena aku kehilangan satu-satunya adikku.

Aku ingat betul alasan kepergian adikku yang begitu periang di usianya yang masih sangat belia karena ketidakmampuan Jayden dalam menjaga adikku.

Etta, yang saat itu berusia 4 tahun, meninggal di hadapan orang banyak dan aku sebagai kakak tidak bisa melakukan apapun.

Apa yang telah kulakukan selama ini sampai harus bertemu kembali dengan pembunuh insan yang kusayangi?

Dari hampir sepuluh juta penduduk Seoul, mengapa aku harus menemuinya? Rasanya Tuhan sedang bermain dengan takdirku. Bagaimana bisa probabilitas kubertemu dengannya menjadi 1?

Aku tak bisa mengatakan apapun, terlalu takut ketidakstabilan dapat membuatku lebih malu jauh lebih besar dibandingkan saat aku berteriak beberapa waktu lalu.

KLANDESTINWhere stories live. Discover now