2. Bertemu

49.4K 5.1K 229
                                    

Rencana awal Naya sih dia akan langsung pulang setelah acara di rumah Budhe Nia selesai. Namun tentu saja rencana itu tidak akan terealisasikan. Jika ayahnya tahu Naya datang tapi tidak mampir, pasti sudah dikatai anak durhaka.

Jadilah malam ini Naya singgah di rumah sang ayah sebelum pulang besok pagi. Satrio sampai sekarang masih tinggal bersama ayah mertuanya alias Profesor Adam.

"Selamat malam, Profesor," sapa Naya pada pria yang rambutnya telah memutih itu.

Tidak banyak yang berubah dari Profesor Adam. Dia masih lincah dan asyik diajak ngobrol. Profesor Adam sepertinya adalah pembuktian dari omongan orang bahwa dokter itu panjang umur.

"Selamat malam, Dokter Naya," balas Profesor Adam dengan nada jahil. "Kamu kok pulang nggak ngasih kabar? Lebaran udah lewat lho, Nay."

"Aku tadi ngelayat, Prof. Oh ya, ayah mana?"

Meski telah berhasil memanggil Satrio dengan ayah dan Astrid menjadi bunda, Naya tetap canggung jika harus memanggil Profesor Adam kakek.

"Satrio tadi lagi keluar sama Astrid, paling bentar lagi pulang."

"Oh, kalau gitu aku ke kamar dulu, ya," pamit Naya sebelum melesat ke kamar di lantai dua yang memang disiapkan untuknya.

Naya merebahkan diri ke kasur yang menbuat tubuhnya terpantul pelan. Dia lalu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, meniru sayap burung. Ck! Buat apa buru-buru menikah jika itu berarti Naya harus berbagi ranjang?

"Mbak Naya."

Tubuh Naya yangg awalnya berbaring kini terduduk karena panggilan dari luar pintu. Dari suaranya sih sepertinya Dika, adik Naya yang kini sedang menempuh pendidikan kedokteran.

"Masuk, Dik."

"Kok tiba-tiba pulang? Mau nikah?"

Naya berdecih dan melempar bantal pada adiknya itu. Dulu mereka memang canggung, namun sekarang Naya malah lebih akrab dengan Dika daripada adik dari mamanya.

"Ibu kostku meninggal."

Naya melirik ke Dika yang duduk di kursi belajar.

"Kamu udah sampai mana pelajarannya?"

"Lagi latihan suturing pad terus, sih." Tangan Dika bergerak untuk memainkan hiasan di meja belajar Naya.

"Masih suturing pad?"

"Iya."

"Interpretasi EKG gimana?"

Dika menghela napas. Sudah menjadi rahasia umum jika salah satu momok di pendidikan kedokteran adalah interpretasi EKG.

"Aku rasanya mau berhenti aja, deh," ujar Dika dembari menyandarkan punggung ke kursi.

"Terserah kamu sih. Kalau mau berhenti ya berhenti aja."

"Mbak Naya nggak mau ngelarang atau ngasih nasihat apa gitu? Kok malah terserah."

Naya tertawa kecil.

"Ya gimana lagi, Dik? Kamu sendiri kan yang ngejalanin. Kalau kamu udah bilang nggak bisa dan nggak mau, nggak akan ada yang bisa ngubah itu."

"Karena batas kemampuan kita adalah saat kita bilang nggak bisa. Gitu, kan?"

Dika sudah khatam sekali dengan kalimat andalan Naya itu. Setiap dia mengeluh atau ingin menyerah seperti tadi, pasti kata-kata keramat itu keluar dari bibir Naya.

"Itu kamu tahu. Udah ah aku mau turun, kayaknya ayah udah pulang."

Naya bangkit karena tadi sempat mendengar suara mobil sang ayah. Benar saja, sosok pria itu telah duduk di meja makan dengan beberapa makanan di hadapannya.

The Butterfly is Flying (PINDAH KE DREAME DAN INNOVEL) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang