Prolog

114K 5.7K 296
                                    

Suara sepatu pantofel yang beradu dengan lantai keramik terdengar di sepanjang koridor. Seorang wanita dengan jas dokter selaku pembuat suara tampak buru-buru.

Cito.

Satu kata yang terdengar dari ujung telepon membuatnya bergegas. Ia tak lagi mempedulikan sepiring nasi goreng yang belum ia sentuh atau laki-laki yang menemaninya makan.

"Nay!" tangan Naya ditarik saat ia sedang menunggu gelisah di depan lift.

"Apa, sih?" kesal Naya. Bisa-bisanya pria ini mengganggu saat dia sedang dikejar waktu. Setiap pasien memiliki golden hours masing-masing. Naya tak mau kehilangan golden hours pasiennya kali ini.

"Kamu kok pergi gitu aja? Kita belum selesai makan, Nay."

"Aku kan udah bilang cito. Kamu ngerti kan?"

"Harus selalu kamu? Emang nggak ada dokter lain?"

Naya tak menanggapi ocehan pria tadi karena pintu lift terbuka.

"Kita ngobrol setelah pasienku selamat," ujar Naya sebelum pintu lift kembali tertutup. Pintu lift yang transparan membuat dia bisa melihat raut kesal dari pria sekaligus kekasihnya itu. Naya mendesah lelah saat lift mulai membawanya naik. Tidak bisakah pria itu mengerti akan pekerjaannya?

***
"Rendi," panggil Naya pada pria yang sedang melipat kedua tangannya.

Karena acara makan siang mereka di kantin rumah sakit batal, terpaksa Naya menuruti keinginan Rendi untuk makan malam bersama.

Naya duduk di depan Rendi, lalu meraih buku menu.

"Kenapa telat?" tanya Rendi membuat Naya mengecek arlojinya.

"Cuma sepuluh menit, Ren."

"Ya kenapa bisa telat sepuluh menit?"

Naya meletakkan buku menu, memusatkan perhatiannya pada Rendi.

"Kamu masih marah gara-gara tadi siang? Ren, ini kan bukan pertama kalinya..."

"Nah itu tahu tadi bukan pertama kalinya," potong Rendi cepat. "Harusnya kamu bisa mikir dong kalau kamu udah ada janji sama aku. Masa iya berkali-kali pergi gitu aja gara-gara pasien?"

Alis Naya bertaut mendengar keluhan Rendi.

"Rendi, pasien aku itu taruhannya nyawa."

"Buktinya minggu lalu kamu cuma liat beberapa menit terus habis itu nggak operasi, kan. Dokter UGD aja yang manja dikit-dikit manggil kamu."

"Kayaknya kamu mikir kejauhan, deh."

"Aku mikir kayak gini juga demi kelangsungan hubungan kita," ujar Rendi membela diri.

Naya tak menanggapi, malah asyik membaca menu. Merasa diabaikan, Rendi menarik kasar buku menu di tangan Naya.

"Kamu apa-apaan, sih?"

"Besok lagi kalau kamu lagi jalan sama aku, aku nggak mau kamu pergi gitu aja. Mau cito, seto, pokoknya kamu harus fokus sama aku."

"Ya nggak bisa gitu, dong."

"Gini, deh. Sekarang kamu milih mau mentingin pasien-pasien kamu atau hubungan kita?"

Sejenak Naya terdiam, sebelum akhirnya tertawa.

"Pertanyaan barusan adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah aku dengar," ucap Naya seraya berdiri. "Kita putus," lanjutnya tegas.

Rendi ikut berdiri dengan sorot mata menatap Naya tak terima.

"Kamu serius mutusin aku?"

"Serius, Ren. Jangan cuma karena kamu anak jenderal dan punya perusahaan terus kamu berpikir aku nggak akan ninggalin kamu. Sejak awal aku udah muak sama hubungan ini. Lagian kamu kalau macarin dokter cuma karena gengsi, ya mentalnya dikuatin dulu," pungkas Naya dengan suara lantang.

Wanita itu berjalan cepat keluar dari restoran. Ia tak lagi peduli pada Rendi atau beberapa tamu yang menonton mereka.

Selesai. Untuk kesekian kalinya hubungannya selesai. Naya bahkan tak ingat berapa kali kisah "cinta"-nya kandas di tengah jalan.

Sampai di mobil, Naya menenggelamkan kepalanya di balik kemudi. Ia sangat lelah dan kejadian barusan menambah rasa lelah yang ia rasakan. Yah... Meski ia cukup lega bisa mengakhiri hubungan dengan Rendi. Persetan jika Farha kembali mengomelinya. Lagipula dia mengenalkan pria kok modelan seperti Rendi.

Drrrtt!

Dering ponsel membuat Naya segera mengeluarkan benda pipih itu dari dalam tas. Nomor Rendi telah diblokir jadi pasti bukan dia yang menghubungi Naya.

Tubuh Naya mematung melihat nama yang tertera di ponsel. Nama seorang lelaki yang telah lama tak berhubungan dengannya. Tanpa menunggu waktu lama, Naya menekan layar yang menampilkan lingkaran hijau.

Sedetik kemudian, suara dari seberang sana langsung membuat Naya menegang.

The Butterfly is Flying (PINDAH KE DREAME DAN INNOVEL) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang