15. Simulasi

1.5K 204 43
                                    

Langit sore mulai redup kala matahari terus bergerak menuju barat. Sekolah itu mulai sepi, beberapa siswa yang masih tetap tinggal hanya yang berkepentingan. Azizi membuka bekalnya, ada nasi serta mie goreng dan telur mata sapi. Ini buah tangan Lala, bukan ibunya. Lala sudah menjadi ibu kedua bagi Azizi, atau 'ibu' lainnya. Sore ini, gadis itu ada latihan basket bersama timnya. Tiga teman Azizi sudah bermain di lapangan saling melempar bola.

Di sudut lain, ada Chika dengan potongan maskernya dan tangan menggenggam ponsel. Dia berjalan menghampiri gadis tomboy yang tengah memakan bekalnya.

"Gue liat-liat lo sekarang rajin bawa bekal," kata Chika sambil merebut sendok Azizi dan memasukkan beberapa helai mie goreng.

Azizi mendengus kesal karena acara makannya direcoki. "Ngapain lo belum balik Chik?"

"Biasa, nungguin teman lo, Zee. Hari ini jadwalnya gue jalan sama Kak Vito."

"Dih. Lo kok mau-maunya berbagi gitu sih?" tanya Azizi penuh keheranan. Temannya terang-terangan diduakan tapi adem-adem saja.

"Kak Vito tuh orangnya nyenengin banget, gue suka aja jalan bareng dia. Ya gue nggak keberatan dia mau jalan sama Kak Mira atau siapapun karena gue nggak punya hak sih. Dia udah bilang nggak mau berkomitmen alias pacaran, kalau tetap mau sama dia ya ayo ayo aja."

"Gila, Badrun sok ganteng banget njir," umpat Azizi kesal.

"Santai lagi Zee, sekarang dia lagi seringan sama gue. Kak Mira fokus mau ujian kan. Ini aja dia lagi les belum kelar."

Azizi tetap saja tidak terima, rasanya Badrun semena-mena memperlakukan keduanya. Tiba-tiba ponsel Chika bergetar. "Ini Badrun udah di gerbang, gue jalan dulu ya Zee. Bilangin sama Kak Lala, telur mata sapinya enak, asinnya pas!"

Belum sempat Azizi menjawab, Chika sudah berlari kegirangan menuju Badrun si fakboi kampung. Selepas peninggalan Chika, Azizi menutup bekalnya yang tandas. Perutnya masih lapar karena Chika dengan enaknya ikut campur dalam penghabisan bekal penuh cinta itu.

Azizi menuju warung depan sekolah sebelum melakukan pemanasan. Dia butuh minuman dingin. Warung sekolah ramai anak-anak kelas dua belas yang baru saja selesai bimbingan untuk ujian. Tidak sengaja matanya menangkap Fiony yang tengah membeli keripik-keripik micin.

"Zee?" Fiony lebih dulu menegur adik kelasnya yang lama tidak membalas pesannya.

Azizi tengah mengantre membayar minuman dinginnya. "Halo Ce," balasnya canggung.

Dia menggaruk lehernya yang tak gatal, sedikit merasa bersalah telah menghindar dari kakak kelas yang setengah mati mengejarnya. "Basket ya?"

Tanpa diduga, bukan pertanyaan posesif seperti biasa. Hanya basa-basi seperti kakak kelas pada umumnya. Azizi mengangguk. "Ce Fio habis bimbingan ya? Dijemput Ci Shani nggak?"

Keripik-keripik micin Fiony selesai dibayar. Kini Azizi selangkah lebih maju ke meja kasir. "Iya Zee, nggak kerasa sebentar lagi udah mau ujian. Aku nggak dijemput Ci Shani, dia lagi sibuk banget di kampus."

Selesai membayar minumannya, Azizi berjalan beriringan dengan Fiony. "Terus pulangnya gimana? Pesan grab?"

"Nggak kok, ada yang jemput," jawab Fiony sambil terus berjalan hingga gerbang.

"Baguslah. Kak Celine ya yang jemput? Aku tungguin kamu sampai dijemput ya, Ce." Azizi ikut menunggu jemputan Fiony. Tebakannya ya Kak Celine, sepupu Fiony yang mengajar bahasa Mandarin di sekolah tak jauh dari sini.

Tidak disangka, keadaan di sekitar mereka menjadi hening. Fiony yang biasanya banyak bicara dan mempertanyakan sesuatu kini hanya diam sambil melihat ke seberang jalan. Azizi pun ragu ingin mengikis hening.

Anak Kemarin SoreWhere stories live. Discover now