03. Film Mas Kinal

1.9K 220 25
                                    

Perkampungan dekat batas kota itu sudah gelap mendekati pukul tujuh malam. Lampu jalan hanya satu dua setia menerangi jalanan lengang. Ini bukan berarti kampung tempat Azizi tinggal letaknya teramat jauh dari peradaban. Hanya berjarak sepuluh hingga dua puluh kilometer dari kota kabupaten, namun penduduk memilih hidup sederhana dan damai dengan label 'orang desa'.

Azizi mengayuh sepedanya pelan, dibelakangnya, Lala sudah duduk dengan manyun. Alasannya simpel saja, Azizi pulang kesorean hingga terlambat menjemput Lala di puskesmas dan menemaninya mencari tempat tinggal baru.

"Kak Lala, Azizi kan udah minta maaf. Azizi tadi mendadak ada TM buat lomba basket, Kak."

Lala masih khidmat mengheningkan cipta. Dia tidak seharusnya menyalahkan Azizi dan sensitif dengan hal remeh seperti ini, tapi Lala ingin saja. Memangnya tidak boleh?!

"Besok kan Sabtu tuh Kak, Azizi bakal temenin Kak Lala cari kost. Azizi tahu kok kost yang dekat sama puskesmas. Nanti Minggunya, Azizi temenin ke kota buat beli barang-barang kost. Gimana Kak Lala?" Azizi masih berusaha memecah kebekuan Lala.

"Lo tahu nggak sih, tadi ada dokter ganteng ngajakin gue pulang. Gue marah ke diri gue sendiri, kenapa malah nungguin bocah kaya lo dan nolak ajakan si dokter ganteng." Akhirnya Lala bersuara. Meskipun tidak tahu, haruskah Azizi mengucap hamdalah?

"Maaf Kak Lala, Azizi bakal nebus kekecewaan Kak Lala."

"Caranya?" Lala tampak sedikit tertarik.

"Nanti Azizi ajakin nonton film di balai desa."

Lala mengerutkan keningnya. Nonton di balai desa? Bukan di bioskop? Nonton apakah yang dimaksud bocah yang masih getol mengayuh sepedanya ini?

"Film bajakan ya?!" Lala menaikkan nada bicaranya.

"Eh, bukan Kak Lala. Kakaknya Badrun, Mas Kinal itu gabung sama UKM film di kampusnya. Nah, biasanya tiap dia pulang bakalan ada pemutaran film yang digarap sama Mas Kinal ini. Katanya bapak, mendukung potensi anak setempat. Makanya kita ramai-ramai apresiasi karya Mas Kinal ini," terang Azizi meskipun dengan gemetar takut.

Lala hanya mengangguk paham, meski Azizi tidak melihatnya. Kemudian lanjut diam menikmati perjalanan yang tinggal empat ratus meter sampai pekarangan rumah Azizi.

Kali ini, ibu Azizi tidak memukul pantatnya karena terlambat pulang. Apa lagi alasannya jika bukan jaga imej di depan Lala? Azizi harus berterimakasih bisa melenggang masuk gerbang dengan tenang. Di rumahnya, Yori sedang belajar iqro dengan Pak Fadli yang selepas menjadi imam di masjid. Ibunya tampak punggungnya saja tengah menggoreng kerupuk untuk pendamping lauk.

"Ji, udah sholat belum?" tanya bapak ketika Azizi baru saja membuka sepatunya.

"Udah kok tadi pak, mampir di jalan."

"Tadi Mbak Rahma jemput kamu nggak? Dia sms bapak, katanya kamu keluarnya lama dari sekolah."

"Nggak sih, dia pulang duluan kayanya. Tadi Ajiji dari sekolah naik angkot, makanya jadi ngaret banget."

Rumah Azizi hingga sekolahnya cukup jauh ditempuh dengan sepeda, sekitar sepuluh kilometer. Azizi hanya bersepeda setengahnya, lalu dilanjut diantar Mbak Rahma, saudara jauhnya yang bekerja di minimarket dekat sekolah Azizi. Terkadang Azizi malas jika harus pergi ke sekolah, dirinya ingin mencari tempat tinggal dekat dengan sekolah. Namun tentu saja keinginannya tidak akan diamini, karena Pak Fadli sungguh yakin, anaknya akan bengal jika dilepas dari kandang.

"Pak, nanti Ajiji nonton film Mas Kinal sama Kak Lala ya."

"Nabila mau nonton film di balai desa? Iya, nggakpapa. Bagus. Sekalian kenalan sama warga-warga disini." Pak Fadli menyambut baik ide Azizi. Lala hanya tersenyum santun, lalu mengangguk sepakat.

Azizi bersorak girang dalam hati, sebelum akhirnya pupus. "Iroy juga mau ikut Kak!"

--

Balai desa dipenuhi beberapa muda-mudi yang meluangkan waktunya untuk menonton film Mas Kinal. Apapun judulnya, pokoknya 'FILM MAS KINAL'. Azizi mengernyit heran melihat keberadaan kakak kelas sekolahnya ada disini, Mira.

"Kak Mira?"

"Eh Zee. Hai," sapanya canggung.

Disebelahnya, si tengil Badrun memberi kode ke Azizi dengan menaik turunkan alisnya. Pamer keberhasilan. Tapi, masa secepat itu?

"Aku diajak Vito," jelasnya tanpa ditanya.

"Udah kenal lama Kak sama Badrun, eh Vito maksudnya?"

"Hm belum sih. Baru semingguan. Kemarin dia follow instagram aku, terus diajakin gitu ke pemutaran film. Aku kan juga mau di industri film ya, kapan lagi sekalian bisa ngobrol sama kakaknya Vito."

Gotcha! Trik pandai Badrun menjerat mangsa. Umpan kakaknya, hasilnya buat adiknya.

Azizi hanya mengangkat bahunya sok paham, lalu mengalihkan perhatiannya pada Lala yang sibuk mengutak-atik ponselnya.

"Kak Lala mau makan kacang rebus?" tawar Azizi pada Lala yang ternyata sedang scrolling sosial media miliknya.

"Popcorn nggak ada? Biar kaya nonton beneran."

"Adanya kacang rebus, Kak Lala. Besok deh Ajiji ajakin nonton film beneran, terus beli popcorn. Sekarang kacang rebus dulu ya Kak Lala?" Azizi sepertinya memang memiliki DNA bucin semenjak bukan siapa-siapa.

"Terserah."

"Oke, Ajiji beli dulu. Kak Lala duduk disana ya, sama Iroy." Azizi mengarahkan Lala pada tempat duduk dimana adiknya, Yori sedang bergurau dengan geng bocilnya.

Hari ini—tepatnya malam ini, suasana hati Azizi cerah sekali. Dia kembali ke balai desa dengan bersenandung lirih, dia tidak pernah tahu kehadiran orang yang dicurigainya 'hantu' pada mulanya benar-benar menjadi vitamin. Setidaknya dua hari terakhir ini. Tapi Azizi lebih dari percaya, semakin banyak hari ditemui, semakin dia tidak bisa beranjak dari Lala. Dan Azizi harus siap patah hati, suatu hari nanti.

Ironisnya, tidak perlu menghitung hari untuk patah. Matanya melihat Yori bermain kejar-kejaran dengan Muthe, Kristi dan Nunu. Dimana Lala? Tepat sebuah punggung terlihat gesturnya tengah bercengkrama dengan seorang pria berpotongan rambut sedikit panjang. Dokter Jinan, Azizi mengenalnya.

"Kak Lala?" Azizi memutus obrolan asyik diantara keduanya.

"Ji?" Lala balas dengan wajah kurang tertariknya. Bagaimana mau tertarik, jika bocah SMA ini memotong obrolannya dengan dokter ganteng ini?

"Ini kacang rebusnya, kita duduk disana yuk." Azizi meraih tangan Lala, memintanya beranjak. Namun tanpa memikirkan perasaan Azizi, Lala melepas genggaman tangan Azizi.

"Gue disini aja. Tanggung lagi ngobrol sama Dokter Jinan. Nanti kalau filmnya kelar, gue langsung ketemu lo. Kacang rebusnya buat lo aja deh, ini Dokter Jinan bawa kuaci."

Azizi menghela nafasnya kecewa, Dokter Jinan dengan setelan kemeja flannel itu tersenyum melihat raut wajah Azizi. "Biasanya kamu gabung sama gengnya Badrun kan?" usir Dokter Jinan secara halus.

Langkah kaki Azizi menjauhi Lala tanpa mengucap kata apapun. Dia sengaja meninggalkan bungkusan kacang rebus itu disamping kuaci, seakan menyuruh Lala memilih diantara keduanya. Azizi duduk jauh sekali dengan Lala-Jinan. Dirinya duduk dekat Badrun-Mira yang dengan kurang ajarnya menambah tensi darahnya.

"Neng Mira, cantik banget deh. Lebih cakep dari di foto."

"Masa sih Bang Vit?" Mira tersipu menerima pujian kadal buntung itu.

"Iya. Kayanya kamera aja nggak bisa menangkap seluruh kecantikan Neng Mira. Hehe."

Azizi menajamkan matanya. "Bacot," desaunya lirih.


-tbc.

Ditunggu komentarnya :))


Sebagai fansfar kemaren akhirnya liat Kalala. Luv banget!

Anak Kemarin SoreМесто, где живут истории. Откройте их для себя