Chapter 7- Goresan Luka

Mulai dari awal
                                    

"Gue denger lo hampir dilukai sama Satya, ya?" tanya Alkar. Sontak Stevlanka menoleh. Ternyata kabar itu mudah sekali menyebar. Ditambah lagi membawa namanya. "Tangan lo nggak papa?"

Stevlanka mengerjap, "Enggak, nggak papa. Cuma luka kecil," jawab Stevlanka menunjukkan tangannya yang masih dibalut dengan kain kassa. Yang dikatakan Alkar itu salah, justru dirinya-lah yang hampir saja membunuh Satya. Ia hampir menikam perut satya jika Ardanu tidak menyelamatkannya.

"Lain kali hati-hati, Vla." Alkar mengingatkan. Lagi-lagi stevlanka mengerjapkan matanya, ia tidak fokus dengan pembicaraan Alkar. Pikiranya berjalan sendiri.

"Apa? Gimana?" tanya Stevlanka.

Alkar hanya tersenyum lembut. Cowok itu mengehentikan langkahnya, membuat Stevlanka juga ikut berhenti. Stevlanka menatap cowok itu bingung, melihat Alkar yang kini tersenyum. Sungguh senyumannya sangat berbeda dengan Ardanu. Jika Ardanu yang tersenyum mungkin tangan Stevlanka gatal untuk menamparnya supaya tidak merasa dirinya paling tampan. Berbeda dengan senyum cowok di hadapannya saat ini.

"Lo duluan aja, gue ada urusan sama kepala sekolah," kata Alkar kembali membuyarkan pikiran Stevlanka yang entah ke mana. Mengapa juga ia membandingkan Alkar dengan Ardanu. Tanpa sadar kini ia tengah berada di depan ruang kepala sekolah.

"Sepagi ini?" tanya Stevlanka penasaran. Alkar menganggukkan kepalanya.

Mereka berpisah di sana. Stevlanka melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas, ia melihat Ardanu yang duduk di tempatnya. Ia sedang bercanda dengan Cantika dan juga Bara. Stevlanka juga menyebarkan pandangannya pada teman-temannya. Kelas ini sungguh berbeda dengan kelasnya dulu. Namun Stevlanka juga bisa melukai mereka semua, kapan pun ia mau. Dan semuanya juga akan terjadi, di mana ia dikucilkan, diacuhkan, dan juga ditindas. Sebisa mungkin ia menghindari hal itu, tetapi tetap saja suatu saat juga akan terjadi.

Stevlanka mengerjapkan matanya, berjalan mendekati tempat duduknya. Ardanu lebih dulu menatapnya, Stevlanka membuat dirinya terlihat biasa saja.

"Hai, Vla," sapa Cantika. Stevlanka menanggapi dengan senyumannya.

"Eh, Vla, jangan ketularan Ardanu. Suka telat. Gue ketua kelas yang baik, jadi gue mengingatkan," kata Bara.

"Sok disiplin lo!" sambar Cantika.

"Can, lo sewot banget sih setiap kali gue ngomong?" Bara memasang wajah kesal.

"Ya emang lo itu ketua kelas yang belagu, enek gue sama lo." Cantika tak kalah kesal.

"Lo ngajak ribut, ya?"

"Apa? Mau gue jambak lagi rambut lo?"

Stevlanka terenyum seraya menggelengkan kepalanya. Begitu juga dengan Ardanu. Melihat Cantika yang beradu mulut dengan Bara bukanlah hal yang aneh. Hampir setiap hari mereka seperti itu. Ardanu memilih memalingkan tatapannya pada Stevlanka yang masih berdiri di depannya.

"Oh, gue lupa. Lo mau duduk, ya?" Ardanu berdiri serya dengan meringis melihatkan deretan giginya. Stevlanka hanya diam.

"Tadi pagi ada hal yang aneh lagi, nggak?" tanya Ardanu pelan. Stevlanka menatapnya sejenak, kemudian menggelengkan kepala singkat. Duduk di samping Cantika. Ardanu memilih duduk di tempat duduknya.

"Udah, bisa diem nggak, sih, lo?" Cantika berteriak.

"Okay! Nggak usah teriak juga," kata Bara. Kemudian ia menghadap depan.

Cantika merapikan baju dan juga rambutnya. Menguras tenaga berdebat dengan makhluk di depannya itu. Ia merogoh cermin yang ada di kolong mejanya. Melihat dirinya pada pantulan kaca cermin yang selalu ia bawa kemana-mana.

DELUSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang