🌚


Prajurit 104 itu telah selesai dengan urusan mereka. Mereka berjalan menuju markas membiarkan seragam kehormatan dibahasi oleh guyuran hujan.

"Bagaimana jika kita mandi bersama?" Tawar Christa tiba-tiba. Meski guyuran hujan nyaris menulikan telinga, ucapan itu dapat dengan cepat didengar oleh kelima pemuda didekat mereka.

Sasha mengangguk setuju, sedangkan Mikasa langsung menengok kearah (y/n) dengan wajah seperti 'bagaimana denganmu?'

Gadis itu tak menjawab. Mereka masih belum akrab, mandi bersama terlalu jauh untuk ia dipikirkan.

"Kudengar mandi bersama dapat mengeratkan pertemanan, mungkin kita bisa saling menggosok punggung," ungkap sasha.

Penuturan Sasha setidaknya dapat meluluhkan hati (y/n). Gadis itu membuang nafas pelan kemudian menagguk sebagai jawaban.

Pembicaraan itu menarik perhatian lima pemuda lainnya. Reiner berdehem sebelum membuka suara.

"Kalau begitu, bagaimana jika kita juga mandi bersama?"

Berbeda respon dengan gadis-gadis tadi, Armin langsung menggeleng cepat, Berthold terbatuk-batuk sedangkan Jean dan connie menatap horor. Ekspresi itu memecahkan tawa Christa dan Sasha, bahkan Sasha sampai tersedak memikirkan betapa lucunya hal itu.

"Lagi pula badan kalian itu besar-besar, apa muat untuk satu bilik kamar mandi?" Ucap (y/n) menambahkan.

Reiner memangku dagu kemudian terkikik dan menggaruk kepalanya, mengetahui bahwa hal yang dikatakan gadis itu memang benar adanya.

"Sebenarnya kita punya pemandian air panas yang luas, sayangnya itu hanya untuk para senior," ungkap (y/n).

"Dimana? Aku tidak pernah melihatnya," ucap connie. Mata kedelapan muda-mudi itu berkeliaran, mencari letak tempat yang dimaksud oleh seniornya meskipun mustahil dapat terlihat oleh mata telanjang.

Melihat gelagat kedelapan juniornya, gadis itu tertawa singkat.

"Dibelakang asrama para Senior," ucapnya.

Mereka yang mendengar ucapan itu lantas membuang nafas kasar. Sepertinya hal yang diucapkan jauh dari ekspetasi yang mereka pikirkan.

Derap langkah yang tak berbalut apa-apa membawa mereka ke lorong panjang, tertutup atap yang tak bisa membawa air hujan untuk kembali membasahi mereka.

Mereka berbincang ringan, saling berbagi opini dan kata-kata ringan sembari mengisi kekosongan waktu, sampai suara derap langkah beserta sosok tinggi kini berpapasan dengan jalan yang mereka ambil.

Komandan Erwin tersenyum dari tempatnya, tak terlihat ramah, tetapi terlihat tegas dan bijaksana meski wajah tampannya terhias senyum tipis.

Sikap hormat diambil oleh kesembilan orang tersebut.

"Bagian kalian sudah selesai?"

Anggukan ia dapat sebagai balasan. Erwin kembali tersenyum dan mulai menatap wajah bawahannya satu persatu dan mencatatnya kedalam memori jeniusnya. Hanya saja tatapan mata biru itu terhenti pada sosok gadis dengan surai (h/c) indah yang kini kembali terikat.

Erwin menyayangkan, tak dapat lagi melihat kibasan rambut indah itu karena kini telah basah oleh air. Meski begitu, hal itu tak mengurangi pesonanya, wajah mungil dan halus bahkan tanpa polesan make up sedikitpun membuat Erwin hilang kendali atas tatapannya.

Regret || Levi Ackerman [Complete]Where stories live. Discover now