Part 5 + Pengumuman

Start from the beginning
                                        

"Eh mbak, jangan bilang umik yah. Nanti aku dimarahin umik. Mbak fifah kan baik, emangnya mbak mau liat aku dimarahin umik." Ia mengeluarkan jurus andalannya. Apa lagi kalau bukan puppy eyes seperti anak kucing memelas yang ingin meminta makan.

Afifah hanya terdiam, ia bingung akan menjawab apa. Kalau ia berbohong, ia takut su'ul adab. Kalau tidak, ia tak tega melihat ningnya dimarahi nyai Zahra.

"Tapi ning...." baru saja ia ingin membuka suara, Isya sudah menyambarnya. "Aduh mbak, Isya mohon bantuin aku sekali ini aja yah. Isya mau keluar bentar sama Ning Rofah. Yah mbak yah" bujuknya.

"Tapi kalau nyai tanya saya harus jawab apa ning" Isya memutar bola matanya jengah. "Jawab aja nggak tau kan beres. Ya udah mbak aku keluar dulu,cuma bentar kok mbak.Assalamualaikum." ia langsung berjalan meninggalkan Afifah yang tengah kebingungan."Eh, enggeh ning. Waalaikumsalam" Jawab Afifah pasrah pada Ningnya itu.

"Mbak emangnya nggak papa yah. Kan kasian mbak nya tadi, emang kita mau kemana sih." Tanya Rofah kepo." Nggak papa, udah ayo. Mbak cuma mau ngajak kamu keliling pondok doang kok Fah, tenang aja." Mereka pun keluar melalui pintu belakang.

Suasana pondok sepi karna semua santri sudah kembali ke sekolah selepas istirahat sebentar. Mereka berjalan menyusuri taman pesantren, menikmati suasana pesantren yang indah nan menentramkan.

"Fah, duduk situ yuk" ajak Isya seraya menunjuk sebuah gazebo di belakang aula pesantren yang berada dekat dengan lapangan. Rofah mengangguk mengiyakan. Semua nampak begitu indah di mata Rofah, hatinya tenang berada disini bersama Isya ,ia seperti sedang bersama Nissa kakak kandungnya sendiri.

"Makasih yah mbak" senyum Rofah terbit seraya memandang wajah Isya. Isya menyernyitkan dahi bingung, " buat apa dek ? Perasaan aku ndak ngapa ngapain." Tanyanya bingung. "Yah buat semua mbak. Mbak udah baik ke Rofah, aku tau mbak orang orang bilang kalau sampean itu cuek. Tapi buat aku semua itu salah besar. Emang dari tampangnya kayak cuek, tapi dalemnya sih enggak sama sekali. Mungkin mereka belum tau aja mbak Isya aslinya kayak gimana." Jelas Rofah.

Senyum Isya merekah mendengar penuturan Rofah. Bukan apa, karna mungkin Rofah lah orang pertama yang bilang dia tidak seperti yang orang lain pikirkan. Hatinya seperti melambung ke langit ke tujuh.

"Ahh kamu bisa aja Fah, melayang aku lama lama kalau di puji terus sama kamu" ucapnya malu malu meong. "Emang bener kok mbak Sya. " kekeh Rofah. Isya mengedarkan pandangan ke bunga bunga yang ditanam di tepi gazebo.

Tak ada panas tak ada hujan, tiba tiba kepala Isya terasa berat sekali ,pandangannya kabur dan tubuhnya terasa lemas seketika. Ia menggelengkan kepala pelan,berharap pusingnya akan mereda. Namun nihil pusingnya tak kunjung mereda. Ia memijat pelipisnya pelan.

"Loh mbak Isya kenapa kok pucet gini, mbak sakit yah apa kepalanya pusing. Balik ke ndalem yuk mbak, aku takut nanti makin parah" tanya Rofah khawatir melihat keadaan Isya.

"Mbak nggak papa kok Fah...." Isya kehilangan kesadarannya, ia mendadak tergulai lemas di lantai gazebo itu. "Loh loh mbak Isya, astaghfirullah mbak bangun, mbak jangan pingsan . Aduhh gimana ini." Rofah risau sekaligus panik, ia bingung harus berbuat apa. Tak ada orang disini, pondok benar benar sepi.

"Ya allah gimana ini ndak ada orang disini. Masak mau teriak teriak. Aduhhh, mbak bangun jangan pingsan." Ia menepuk nepuk pipi Isya pelan, berharap Isya akan sadar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 05, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Antara Rasa dan JarakWhere stories live. Discover now