satu.

2.3K 153 4
                                    

Adegan 18+++

Yang belum ++di larang mendekat.




***

Seorang wanita tengah bergelayut manja, mendudukkan diri dipangkuan seorang pria yang menjadi targetnya siang ini.

Bima memejamkan mata menikmati hisapan bibir dan decapan wanita di pangkuannya. Rasanya tidak terlalu buruk.

"Lumayan," ucap Bima yang melepaskan ciuman penuh hasrat itu. Senyum terukir di bibir wanita penggoda, matanya mengerling nakal dan dengan lancang jemarinya mulai turun ingin mengelus dada bidang Bima, tetapi langsung mendapat cekalan dari pria yang sedang dia cumbui.

Terkesan penolakan, tetapi si wanita tak peduli dan masih terus menggoda.

Drtt.

Ponsel Bima bergetar tetapi Bima tak acuhkan, dia masih melayani cumbuan wanita penggoda kiriman dari rekan bisnisnya.

Drtt ... drtt ....

Ponsel itu kembali bergetar, Bima hanya menyeringai, tetap tak memperdulikan getaran di atas mejanya. Senyumnya licik saat merasakan wanita itu yang justru terhanyut dalam hasrat yang mulanya dia ciptakan sendiri. Merasa kepalang basah wanita itu dengan berani menyentuh benda keramat yang hanya dimiliki kaum adam--milik Bima, membuat sang empunya menggeram.

"Hentikan tanganmu, Sialan!" sentak Bima dan mendorong tubuh dipangkuannya, hingga wanita itu terjengkang.

Masalah ciuman dan meraba itu sudah biasa bagi Bima, tetapi kalau harus melepaskan benih-benih anaknya pada wanita yang tidak dia kenal apalagi hanya wanita panggilan, dia masih waras untuk mengiyakan.

Bima meraih ponselnya di atas meja, mengabaikan raut merah padam dari wanita--yang masih bersimpuh di lantai, yang tadi melayaninya beradu bibir dan bertukar air liur dengannya.

"Ada apa? Kau menggangguku saja. Awas kalau tidak ada hal yang penting!" sergah Bima saat panggilannya mendapat tanggapan.

Suara tawa keras yang justru terdengar dalam pendengaran Bima. "Apa kau sedang bersama seorang wanita? Sorry brother," ucap pria di sambungan telepon. "Aku hanya ingin bertanya, kau jadi ikut investasi café yang di luar kota? Kalau ya, kutunggu di tempat biasa. Kalau tidak lanjutkan saja aksimu, dan, maaf, sudah mengganggu." Suara tawa tergelak yang kembali menutup ucapan pria itu.

"Sialan!" umpat Bima, terdengar kekehan dari seberang sana di rungunya. "Iya, aku segera ke sana." Bima mengakhiri panggilan, dan langsung berdiri membenahi pakaiannya, sedang sang wanita hanya diam saja, belum beranjak dari duduknya yang bersimpuh. Rok mininya agak tertarik ke atas, menampakkan kulit putih dan masih kencang. Dadanya membusung, mempertontonkan keelokan aset yang dia miliki, dia masih ingin menggoda klien atasannya.

"Pergilah! Katakan pada Bosmu proposal kerjasamanya akan kupertimbangkan dan aku akan menghubunginya nanti." Kata Bima, tetapi wanita itu tak beranjak dan tetap duduk tak bergerak. Bima meraih dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan menyerahkan kepada si wanita.

"Ck! Pergilah! Itu lebih dari cukup untuk membeli pewarna bibirmu yang merah menyala itu." Bima menunjuk bibir wanita di depannya--tepatnya di depan kakinya.

Mendangak, wanita itu tersenyum menerima uang dan bangkit, tak lupa memberikan kecupan di bibir Bima yang langsung saja Bima usap kasar. Ciuman itu mungkin akan meninggalkan bekas merah dari perona bibir sekretaris kliennya. Bima tidak ingin citranya buruk bila para pegawainya sampai tahu bahwa kerap menerima jasa plus-plus dari para rekan bisnis saat melobi kerjasama dengannya.

Wanita itu tidak marah mendapatkan perbuatan demikian, itu sudah biasa baginya, bahkan tanpa rasa canggung dia menuliskan nomor ponselnya pada selembar kertas di atas meja kerja Bima. Bima hanya menghela napas, kasar. Makin nekad saja para penggoda ini, pikirnya.

first kiss & enemy. (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang