[refraksi #25]

8K 1.6K 232
                                    

Note: Selamat bermalam minggu^^ Jaga kesehatan kalian ya, teman-teman. Karena COVID-19 itu nyata adanya, bukan sekedar teori konspirasi katanya-katanya. 

Suara deheman... bukan, nyaris geraman seketika membuatku terkesiap.

Sekuat tenaga, aku berusaha mendorong tubuh yang melingkupiku dengan sangat erat, hingga rasanya nyaris menyesakkan. Saat aku sudah berhasil membuat jarak sekian sentimeter dan menengok ke belakang, kutemukan Kemi dengan rambut awut-awutan mencuat ke mana-mana menatap kami dengan tajam.

"Bang, lepas," bisikku. Pelukan itu seketika mengendor.

Hal yang sama sekali tak kuduga berikutnya adalah tanganku tertarik kuat, aku sampai tersentak dan itu membuat badanku bergerak tanpa bisa kukontrol. Aku nyaris terjerambab kalau saja tidak ditahan dengan dua tangan di bahuku. Dengan cepat, tubuh mungil itu berdiri tepat di depanku. Seperti mencoba melemparkan diri di antara aku dan Bang Kaio. Meski tidak berarti banyak karena tinggi tubuhnya tidak cukup untuk menghalangi pandanganku, tak cukup baik menyembunyikan tubuhku.

"Apa-apaan ini, Bang?!" Suara Kemi menggelegar, lebih seperti memaki di telingaku.

"Kem?" Saga berdiri, ikut mendekati kami berdua.

"Gue nggak suka banget kayak gini, apa coba maksudnya, Ga? Dateng-dateng main peluk aja. Lo lupa tadi siang sama siapa, Bang?" cerocosnya. Tangan mungilnya terayun, menunjuk tepat di hidung Bang Kaio.

"Gue juga nggak ngerti, tapi tolong sabar dikit, Kem," ujar Saga.

Kemi langsung menoleh, kali ini tatapannya beralih pada Saga. Mulutnya maju, cemberutnya maksimal seperti saat dia mengambek pada King. "Sabar apanya?" bentaknya. "Gue udah cukup sabar ya, Ga, meski dia abangnya Mona, temen kita. Cuma kelakuan dia bikin gue marah tahu, nggak? Lo lupa? Dulu dia dateng, bikin Lanti melayang, terus pergi macem hantu nggak ada kabar. Lanti kayak mayat hidup, Ga? Lo inget kan? Pas kita ketemu lagi udah gandeng cewek, dan sekarang tengah malam gini dateng meluk-meluk Lanti? Maunya apaaa?!"

Aku menahan napas. Seumur-umur aku tinggal bersama Kemi, belum pernah kulihat dia marah dan memaki seperti ini. Dan sepertinya reaksi Kemi juga membuat Bang Kaio terkejut. Lelaki yang baru saja menerobos pintu rumah kontrakan kami ini ikut mematung.

"Ma-maaf, Kem, tapi—"

"Gue nggak butuh kata maaf lo, Bang. Nggak laku buat gue. Nggak suka!" potongnya.

"Kem, dengar dulu," tegur Saga.

Kemi memutar bola mata saat aku memosisikan diri di sampingnya. "Udah susah payah kita di sini bikin Lanti tegar, bangkit dari sakit hatinya, terus Abang ngapain datang lagi, eh? Mau ngasi-ngasi harapan lagi? Terus ditinggal lagi? Kurang ajar banget!" semprot Kemi.

Aku benar-benar nggak tahu harus gimana. Di satu sisi, aku berterima kasih karena mengerti bahwa apa yang Kemi lakukan semata-mata karena ingin membelaku, namun tak urung ketika dia membeberkan kondisiku saat ditinggal Bang Kaio juga membuatku nggak enak. Lebih tepatnya malu mendominasi.

"Em... Kem, boleh kasih kesempatan Abang bicara?" Suara Kaio terdengar bergetar.

"Nggak!" jawabnya langsung, lengkap dengan nada ketus.

"Kemiii!" Saga mendesah. "Iya, gue tahu lo kesel. Gue juga. Tapi, tetap... ini juga urusan mereka berdua, Kem."

Kemi menyipit, kemudian mendadak beralih menatapku. "Memangnya lo masih mau dengar apa pun yang keluar dari mulut dia, Lan?"

Aku refleks menahan napas, mataku mengerjap-ngerjap.

"Ya ampun!" semburnya sambil menepuk dahi. "Ya udah, Abang mau ngomong apa? Ngomong cepet. Sepuluh menit cukup kan?"

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang