[refraksi #3]

23K 3.3K 110
                                    

Baper itu adalah salah satu mekanisme pertahanan diri. Setidaknya, dalam pikiran aku kayak begitu. Sama seperti ketika menonton salah satu drama Korea, pemeran prianya membuatku baper dan ingin segera menyeret ke KUA, aku tinggal memejam saja dan tahu kalau semua itu hanya ilusi belaka. Nggak bakal berakhir sama-sama.

Persis seperti sekarang. Aku beranggapan lebih baik sadar bahwa aku sedang baper, daripada nggak sadar tahu-tahu semaput dan tenggelam dalam kebaperan yang nggak tertolong lagi.

Tahu diri itu jauh lebih berharga untuk seorang pengkhayal sepertiku.

Masalahnya, jika memiliki sahabat seperti Saga—yang kelewat peka dan iseng itu—semuanya jadi nggak sesederhana menyimpan perasaan sendiri. Cengirannya benar-benar membuatku gerah dan ingin pergi saja dari sini.

Tapi, apa aku bisa?

Ada rasa tergelitik untuk tetap melihatnya dalam jangkauan mata. Tapi di sisi lain, ada keinginan untuk angkat kaki segera biar nggak salah tingkah melulu gara-gara digodain Saga. Ledekannya membuatku serasa duduk di atas duri, bukannya sofa empuk milik keluarga Mona.

Kalau hal seperti ini terjadi pada masa-masa sekolah dulu, mungkin aku nggak akan ambil pusing. Ya... wajarlah, namanya juga anak sekolah yang baru tahu serunya ngecengin anak orang. Senyam-senyum nggak jelas curhat soal gebetan. Terus indahnya masa pendekatan. Dilanjut dengan pacaran lucu yang kalau sudah bosan tinggal bubar jalan. Terus menemukan orang baru dan merasakan lagi debaran menyenangkan.

Tapi, semua itu terasa bukan pada tempatnya kalau usiamu sudah 27 tahun kan? Nggak lucu rasanya baper hanya karena tindakan sederhana tapi menurutku heroik seperti memberikan solusi karena adiknya ribut ingin wefie.

Tapi, mau bagaimana lagi. Baper memang tak memilih alasan dan kesempatan. Usia juga tak menjamin seseorang kebal terhadap perasaan ini.

"Kelihatan banget ya, Ga?" bisikku seraya menyepak kaki Saga yang cengengesan.

"Karena gue kenal lo, jawabannya banget."

"Duh! Kira-kira Kemi sama Lanti nyadar nggak?"

"Lebih penting duo anak itu nyadar atau kakaknya Mona yang nyadar?" balasnya.

"Ga! Ish! Malu tahu!"

Saga tertawa. "Ya... gimana lagi. Lo kan paling lemah sama begituan, Lan."

"Apanya?"

"Mona ribut pengin wefie, kakaknya datang bawa solusi. Mona sama Kemi nggak jadi cakar-cakaran. Semua senang, semua jadi nyaman. Lo kan paling lemah sama yang bisa bikin nyaman, hm?"

Tindakannya sederhana. Hanya memberikan solusi karena adiknya sibuk berteriak ingin wefie. Tapi, apa ya? Jauh di dalam hati, kejadian itu membuatku menyadari sesuatu. Semacam... orang yang bisa selalu diandalkan. Kalau di drama-drama atau novel gitu, tipe yang menjanjikan segala jawaban atas permasalahan. Ujung-ujungnya kan menimbulkan rasa aman dan nyaman. Jadi, bukan salahku juga kalau tiba-tiba baper. Perempuan kan memang lemah terhadap sosok yang menawarkan kenyamanan?

Bela diri saja terus, Lan. Cari alasan pembenaran buat baper! Huh!

"Sudah, kita ke sana yuk," ajak Saga ke arah teman-temanku yang berkumpul usai acara. Ada Mona dan suaminya, Kemi dan King, terus... dia.

"Ga!" peringatku.

Menjaga jarak lima meter lebih saja tidak melenyapkan pesonanya. Masih sama. Masih kulit kecokelatan yang sama. Masih garis rahang tegas yang sama. Masih hidung mancung yang sama. Masih bibir yang—ah!

"Santai aja, Lan. Kalau aneh gini malah memancing kekepoan, tahu nggak?" ujarnya sambil menyeret tanganku.

"Apa sih serunya ngejar-ngejar singa buat difoto, Bang?" Kudengar Kemi menyuarakan pertanyaan saat kami mendekat dan mengambil kursi yang tersisa lalu ikut mengelilingi meja bundar.

"Karena nggak semua orang mau mengejar singa."

"Nggak paham!" cetus Kemi. "Maksudnya apaan, Bang?"

"Mau dijelaskan panjang juga tetap nggak bakal paham," sahut King, membuat Kemi mendelik sebal pada kekasihnya itu.

"Emang kamu ngerti?" tantang Kemi.

King menghela napas. "Artinya, Makaio nggak suka melakukan sesuatu yang pasaran. Sesuatu yang dilakukan banyak orang."

"Tepat! Syukur pacar lo pinter, Kem," ledeknya. Mau nggak mau bikin kami semua tertawa.

"Alaaah... tetap aja nggak ngerti di mana bagusnya ngejar singa."

"Kan sudah dibilang kalau kamu nggak bakal paham, Kemilau."

"Shut up, King."

Aku berusaha mengakhiri tawa dalam senyuman. Rasanya masih tak tega menertawakan Kemi dan pemikirannya yang ajaib. Kenapa juga dia sempat-sempatnya bertanya soal singa?

"Bang, kamu nggak mau nikah kayak adikmu?" Ucapan yang disuarakan mamanya Mona itu membuat lamunanku terhenti dan mengangkat kepala.

Aku menemukan ringisan yang familier. Sama seperti yang sering kutampilkan kalau ada yang menanyaiku hal serupa. Dijawab salah, nggak dijawab dapat nol.

"Belum ada jodohnya, Ma," jawabnya pendek.

Aku tersenyum simpul. Betapa berbedanya lelaki dan perempuan saat memberikan respons terhadap pertanyaan yang sama. Kalau aku mungkin sudah disertai tangan dingin, kepala migrain mendadak dan rasa sebal di hati. Namun, sepertinya dia santai saja.

"Emang nyari yang gimana, Bang?" tanya Kemi tiba-tiba, membuatku mengerjap pasang telinga. Penasaran.

"Iya, gue juga penasaran nih, Bang," timpal Mona. "Cewek kayak apa sih yang lo cari? Biar bisa lo rencanain dari sekarang. Tulis kriteria yang lo mau, kualifikasinya gimana, terus tinggal seleksi berdasarkan daftar itu—"

"Lo kira recruitment, Mon?" sambar Kemi.

"Yang kayak Kemi," jawabnya.

Jawaban itu membekukan napas. Aku terkesiap.

"Hah?!" Kemi memutar bola mata. "Ditanyain serius, malah becanda. Siapa tahu kita punya stok buat yang cocok buat Abang, woi!"

"Yang bilang Abang bercanda siapa?" tanyanya, lebih seperti pernyataan.

King mendesah, "Hati-hati terhadap permintaan kamu, Bro. Kalau Tuhan mengabulkan, kamu akan kelimpungan. Cukup saya saja. Yang lain nggak akan bisa."

"Pedeee...," sembur Kemi. "Nggak usah ditanggepin serius napa, King? Udah tahu Bang Kaio bercanda doang. Masa kamu kepancing cemburu juga?"

"Gue bilang yang kayak Kemi, bukan Kemi," tegasnya lagi.

Aku masih membiarkan mulutku ternganga andai Saga tidak memberi tatapan memperingatkan. Kukatupkan mulutku, kemudian tak tahan untuk berucap, "Kenapa?"

"Apanya?"

"Seperti Kemi?"

Makaio, lelaki yang sosoknya sudah memudarkan kecintaanku terhadap cowok-cowok fiksi akibat kehadirannya itu mengerutkan keningnya. Aku mengerjap menunggu jawaban. "Karena Kemi itu unik. Limited."


Note:

Lanti adalah salah satu tokoh yang paling susah untuk diciptakan. Karena pada dasarnya, ia lebih pendiam, hanya pengamat dan ikut arus. Orang senang, ia ikut senang. Orang sedih, ia nangis nggak ketulungan. Sementara karakter cewek yang saya ciptakan lebih sering gedubrakan dan serampangan. Apalagi Ghea dan Kemi. Paling gampang membuat karakter mereka. Lol. Fiuh... tapi senang juga menantang diri sendiri menciptakan cewek ini.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang