[ refraksi #16 ]

19.6K 3K 252
                                    

Note:

Akhirnya, cerita Lanti selesai ditulis, ehe. Dan mulai bab ini kemaren saya tarik karena mengalami beberapa perubahan. Semoga yang masih mau baca, bisa menikmatinya. Selamat menjalankan ibadah puasa, ya, semua. Love u all.

Aku menemukan Kemi—dia lagi memeluk guling dengan rambut terpasang jepitan—ketika aku pulang. Cengirannya menyambutku, lengkap dengan alis terangkat berulang-ulang. Mau nggak mau, aku senyum sendiri melihat kelakuannya.

"Gimana, Lan?"

"Apanya?"

"Alah... jangan sok polos. Si Ical maksud gue, gimana?"

"Ya... nggak gimana-gimana," jawabku. Memangnya mau aku jawab seperti apa?

Aku membiarkan Kemi membuntuti hingga ke kamar. Gadis itu melempar guling dan berbaring di ranjang. Tubuhnya miring ke arah aku yang lagi sibuk meletakkan tas, mengeluarkan ponsel dan menyisir rambut yang kusut sehabis pulang naik motor.

"Lanti, gue lagi nunggu jawaban ini," desaknya.

"Ya... aku mau jawab apa?" tanyaku balik.

"Lo kan nggak seidiot itu sampai nggak menyadari kalau Ical ngedeketin lo," misuhnya. Alisnya terangkat sempurna, mulutnya sedikit cemberut.

Aku mengangkat bahu. "Satu-satunya gadis yang nggak paham gestur orang pedekate kan cuma kamu, Dear," balasku.

Kemi tergealk. "Aish... jangan bahas gue. Gue lagi nanya ini. Lo ngalihin pembicaraan banget. Gue tahu!"

Aku menghela napas, kuambil handuk yang tergantung di dalam lemari. "Ya... nggak gimana-gimana, Ical anaknya baik, asyik juga, teman ngobrol yang seru."

"Dia... nggak annoying kan?"

Sejenak aku berpikir, mengingat perilaku lelaki itu sejak pertama kali kami bertegur sapa hingga saat ini. "Nggak sih," jawabku. "Tapi, dia banyak ngomong."

"Beuh... emang! Congornya nggak ada tombol pause, gue bilang. Tapi, lo nggak keganggu kan?" ucapnya penuh nada hati-hati.

"Memangnya kenapa?"

"Ya... kalau lo keganggu, gue bakal berhenti aja nyodorin dia ke lo. Buat gue, yang penting lo senang. Kalau lo nggak senang, gue siap kok nendang dia ke Antartika. Apalagi kalau dia ngomong mulu sampai bikin lo bete, ntar gue tabok. Beneran."

Aku menggeleng sambil tertawa. "Nggak. Selama dia nggak menuntut aku buat ikut ngomong banyak kayak dia, nggak ada masalah sih."

"Aseeek... gitu dong, Lan!"

"Tapi, jangan berharap macam-macam, Kem," peringatku.

"Nggak. Buat gue, lo mau buka diri dan temenan sama cowok lain aja udah satu langkah besar. Terserah mau jadi temen doang atau temen hidup, ya kan?"

"Tapi kan, aku punya teman cowok. Saga."

Kemi mendecih. "Saga jangan dimasukin hitungan. Dia mah sodara kita," balas Kemi. "Eh... tapi, ngomong-ngomong Kak Anya sakit apa, ya, sampai Saga ambil cuti? Gue kepikiran banget, chat gue nggak dibalas sama dia. Telpon gue nggak diangkat. Padahal gue bela-belain isi pulsa, lho. Kenapa tu anak? Bikin gue khawatir jadinya."

"Aku juga nyoba nelpon, tapi ponselnya nggak aktif, Kem," ungkapku perlahan.

Entah kenapa aku merasa ada yang nggak beres sama Saga. Kami sama-sama berpandangan.

"Lo mandi—"

"Ganti baju, Kem—"

Kami berseru berbarengan.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang