[ refraksi #17 ]

25.8K 3.3K 169
                                    

Note:

Semoga bisa konsisten *ngomong sama diri sendiri.

Aku lembur lagi malam ini. Sudah hampir dua minggu aku seperti ini, sejak Saga cuti tepatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat tiga perempat dokumen yang kuteliti sudah berpindah ke tumpukan yang kuberi label selesai diperiksa. Mona yang pucat pasi juga memaksakan diri bekerja semaksimal yang dia bisa, meski akhirnya aku terpaksa mengusirnya pulang karena muntah dan pusing mneyerangnya.

Ah... kali ini, aku benar-benar nggak mengeluh, meskipun aku harus mengerjakan bagian Saga juga. Apa yang kulakukan saat ini, nggak ada apa-apanya dibanding yang sudah Saga lakukan buat kami.

Kemi juga sedang izin nggak masuk. Tadi malam, Kemi menelepon King dan memutuskan membawa Dion dari rumah sakit. Bagaimanapun, lingkungannya nggak baik bagi anak kecil. Jadi, Kemi membawa Dion ke rumah King. Setidaknya, Dion nggak akan kesepian, ada Tara yang bisa menjadi temannya.

Aku benar-benar harus menguatkan mata. Kuhirup lagi asupan kafein yang kubuat setengah jam yang lalu. Aku harus kuat menyelesaikan ini, deadline tinggal tiga hari lagi. Kuperiksa catatan yang Mona tinggalkan sebelum dia pulang dengan raut penuh permohonan maaf dan penyesalan. Dia bilang, malam ini kalau kuat akan mengunjungi Kak Anya.

Air mataku nyaris turun lagi ketika teringat raut wajah Saga. Kenapa? Kenapa harus Saga yang dikasih cobaan begini, Ya Tuhan? Rasa-rasanya, aku benar-benar nggak bisa memahami kata-kata sabar dan ujian saat ini.

Kenapa harus Saga?

Kenapa harus Kak Anya?

Tuhan, bukankah cobaan yang mereka terima bertahun-tahun ini juga sudah melebihi batas kemampuan?

Apakah aku kurang ajar kalau bertanya seperti ini, Tuhan?

Aku menumpangkan kepala di meja. Senut-senut di pelipis mulai terasa. Kafein nggak efektif lagi melawan ngantuk dan kelelahan. Sepulang dari rumah sakit tadi malam pun, aku benar-benar nggak bisa tidur nyenyak. Pusaran muka kalut dan kelelahan Saga mendominasi mimpiku. Untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan terakhir, aku tidak lagi memimpikan 'dia'.

"Lanti?" Suara itu membuatku mengerjap. Pintu geser penghubung ruanganku dengan koridor bergeser.

"Eh, Ical?" jawabku. "Lembur juga."

"Iya," dia menggaruk belakang kepalanya. "Persiapan mau ke Bali. Dua minggu gue bakal ngaudit di sana."

"Oh."

Ical mengambil posisi di kursi Saga. Jemarinya mengetuk meja. "Pusing, ya? Lo udah makan?" tanyanya saat aku menumpangkan lagi kepala.

Aku menghela napas. "Capek aja, dikit. Lagi nggak selera makan."

"Kenapa?" tanyanya. "Makan itu menjaga kewarasan, Lan. Lo pernah dengar nggak, orang jadi gampang marah, tersinggung, pusing kalau nggak makan. Gemetar juga. Bahkan, kalau gue nggak makan, gue nggak bisa konsentrasi, Lan."

"Lagi nggak selera aja."

Tapi, benar sih, aku juga agak sulit berkonsentrasi memeriksa beberapa dokumen terakhir.

"Pergi sama gue, ya, bentar aja. Kita makan," ajaknya. "Kalau abis itu lo mau balik kantor, gue temenin lagi. Atau kalau mau balik, gue anterin ke rumah. Gimana?"

"Eh?"

Aku tergeragap gara-gara Ical mengambil tas di belakang kursiku. Dengan mudah, benda itu disampirkannya di bahu. Lalu, dia mundur dan menunggu di pintu geser. "Ayo, Lan," ajaknya.

Nggak sampai sepuluh menit, kami sudah berada di mobil. Aku sampai bengong karena sepertinya otakku benar-benar berjalan lambat. Aku nggak tahu apa yang memenuhi pikiranku hingga kami berjalan ke lift, turun, dan menuju parkiran.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang