BAB 5

12 1 1
                                    

"Entahlah. Pada intinya, aku, kau, Stella, dan semua kaum di ILLgard adalah keturunan dari Ratu."

"Begitu, yah." pandangan Aric langsung tertuju pada rumah kecil di dekat persimpangan jalan. "Itu dia rumah yang kau cari."

Ola tersenyum lebar. Dengan cepat ia langsung bergegas lari ke rumah kecil tersebut. "Ibu! Ola pulang" pekik Ola dengan semangat

Aric menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Ola yang sedang menggedor-gedor rumah yang tak berpenghuni. Aric berjalan santai kearah Ola.

"Itu rumah Ibumu yang dulu. Sekarang dia sudah pindah, ketempat yang lebih nyaman." bisik Aric tepat ditelinga Ola

"Eh begitu, yah? Lalu sekarang Ibu tinggal dimana?" tanya Ola tak sabar. "Apakah sekarang rumahnya sudah jauh lebih besar?."

"Entahlah, sebaiknya ikut saja denganku."

Ola akhirnya mengangguk setuju. Dengan semangat keduanya berjalan beriringan. Perlahan senyuman Aric memudar mengingat kenyataan yang begitu pahit.

"Sedang mengingat Stella, yah? Kenapa wajahmu terlihat muram begitu?"

Aric terkekeh. "Tidak ada apa-apa." ucap Aric mencoba untuk tidak membuat Ola merasa khawatir.

"Oh iya, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Kau dan Ariel kan satu tubuh, lalu kenapa kalian tidak memiliki pikiran yang sama?"

"Um. Aku juga tidak tahu soal itu. Ratu yang mengatur kehidupanku di dunia ini. Yah, ini tak masalah untukku. Tapi aku tak tahu perasaan Ariel, dia pasti sangat marah jika tahu hal ini..."

"Tidak usah khawatir. Aku tahu Ariel tak akan marah padamu. Jika kau sudah menyelesaikan tujuanmu ke dunia ini, maka beri tahulah segalanya pada Ariel. Jangan menyembunyikan apapun padanya."

Aric mengangguk antusias "Tentu saja!" Aric menundukkan kepalanya. "Kau tahu, Ola? Aku sudah lama menanti kehadirannya kembali. Dan hari ini, aku menemuinya. Dengan wujud yang sama, wajah yang sama, namun sayangnya, dia memiliki sifat yang berbeda dari sebelumnya."

Ola mendongakkan kepalanya kesamping, menatap Ariel yang terlihat suram. "Ratu tak menginginkannya memiliki sifat yang ceria dan ramah, seperti dahulu. Karena Ratu tahu, dengan sifat yang seperti dulu, ia akan mudah dipermainkan oleh orang-orang disekitarnya"

Aric tersenyum miris kali ini.

"Apa menurutmu aku mempermainkan perasaannya, dulu?" Aric tertegun sejenak. Terlintas kembali diingatannya disaat ia dengan mudahnya mendapatkan hati Stella, lalu meninggalkannya. Rasanya pasti sangat menyakitkan.

*****

"Iya. Ini sangat menyakitkan" Stella tertawa kecil. "Walau begitu, aku tak akan menangis. Aku akan menjadi gadis yang kuat! Seperti yang kau katakan."

Stella menatap langit-langit kamarnya. "Tapi kenapa sekarang kamu tidak ada disisiku, Archel. Bukannya kau sudah berjanji untuk selalu menemaniku?"

Stella menangkup kedua pipinya. "Apa menurutmu sekarang aku sudah menjadi gadis yang kuat?"

"Iya. Kau sudah menjadi gadis yang sangat kuat"

Hendra memasuki kamar putrinya. Refleks Stella langsung berpaling dari langit-langit kamarnya. Sekilas ia menatap sang Ayah. "Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mampir ke kamar putriku, apa tidak boleh?"

"Tidak boleh" sahut Stella ketus

Hendra tersenyum kecil. "Apa kau sedang kesepian? Kenapa tak pernah berbicara pada Ayah lagi?"

"Memangnya Ayah pernah luangin waktu, buat Stella? Ayah selalu bilang, kalau Ayah lagi sibuk. Selalu gak ada waktu buat Stella. Dan disaat Stella udah bisa nerima semua ini, Ayah mala datang terus ngeluh kalau Stella gak pernah bicara sama Ayah."

Hendra menatap Stella dengan tatapan penuh kesalahan. "Maaf. Ayah gak pernah ada niatan buat cuekin kamu. Tapi Ayah juga gak bisa selalu ada disamping Stella."

Stella mendecih kesal mendengar pengakuan Ayahnya tadi. "Stella gak masalah biar pun Ayah gak ada. Stella bisa nerima semuanya. Stella bisa hadapain masalah sendiri. Stella bukan anak-anak lagi sekarang"

"Bunda pasti sangat bangga melihat putrinya sudah menjadi dewasa seperti ini." Hendra berjalan mendekati Stella. Kemudian duduk diujung kasur, disamping putrinya.

"Keluar dari kamarku. Aku membencimu, Ayah."

"Ayah senang melihatmu membenci seseorang. Biar pun itu adalah Ayah sendiri, tak ada masalah dengan itu."

"Aku memang sudah membencimu, dari dulu. Aku hanya mencintai Bunda, dan Archel..."

"Tapi pada akhirnya, mereka pergi, kan?. Jangan terlalu mencintai seseorang, karena cepat atau lambat mereka akan meninggalkanmu."

"Aku akan terus mencintai seseorang yang aku sayang! Lalu apa masalahnya dengan itu?."

"Jika kau memang ingin mencintai seseorang, bersiap-siaplah untuk menangis."

"Cih... Aku sangat membencimu! Keluarlah dari kamarku! Kau menyebalkan!"

"Baiklah. Tapi ingat baik-baik pesan Ayah tadi."

Setelahnya, Hendra keluar dari kamar anaknya. Ia sedikit tersenyum. "Putrimu sudah dewasa. Aku senang bisa selalu bersamanya, walau ia sendiri membenciku."

*****

Mata Ola membelalak lebar. Apa maksudnya ini? Cih, apa Aric sedang bercanda?! Jika memang benar, ini sama sekali tak lucu.

"Disinilah sekarang Ibumu berada. Maaf karena selama ini aku tak memberi tahu."

Ola tersenyum getir. "Candaan macam apa ini? Ini tidak lucu... JANGAN BERCANDA!!"

"Aku sama sekali tidak bercanda, Ola. Maafkan aku"

Ola mundur beberapa langkah. Memandang kuburan dihadapannya. "Ibu masih hidup, aku tahu itu! Ibu, Ibu tidak akan meninggalkanku! Tidak mungkin..." Ola memandang kedua tangannya. "Dua tahun yang lalu dia masih menggenggam tanganku dengan erat! Ini pasti mimpi, Ibu tidak mungkin meninggalkanku, kan?"

"Semua manusia pasti akan mati." Aric berjalan mendekati Ola, kemudian mengusap kepalanya lembut. "Jadi jangan heran jika orang-orang yang kau sayangi dibumi ini, akan meninggalkanmu"

Ola tertawa miris. "Kenapa, Kenapa semua ini terjadi padaku... Aku sangat menyayanginya! KENAPA DIA MENINGGALKANKU! Apa salahku padanya."

Ola menangis sejadi-jadinya. Menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "AAAAAA!!" teriak Ola, frustasi.

"AKU MENCINTAINYA! KENAPA DIA PERGI DARIKU! AKU... AKU MEMBENCINYA, KENAPA! APA KESALAHANKU. DIA JAHAT, AKU MEMBENCINYA!!"

Ola masih terus menangis tanpa henti. Aric tersenyum simpul. "Jangan menangis, aku akan selalu menemanimu." ucap Aric memeluk tubuh Ola erat. "Jangan menangis, tolonglah." Aric semakin mempererat pelukannya. Tanpa sadar air matanya juga ikut terjatuh, mengalir dengan sangat deras.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kalimat Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang