2

15.4K 273 5
                                    

Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.

Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.

Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di WhatsApp yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan. Sekali kuabaikan. Dua kali aku mulai penasaran. Tiga kali rasanya tak tahan. Aku bangkit dan mulai mencari tahu siapa yang mengetuk tiga kali di pintu.

“Mas Wisnu?” Aku tercengang saat mengintip dari celah yang kubuka sedikit.

“Ssst!” Dia meletakan jemarinya di depan bibir. Memberi kode agar aku mengecilkan volume.

“Kenapa?” Mataku membelalak. Aku sungguh tidak mau malam-malam begini masalah datang lagi. Sudah cukup. Aku capek.

“Bisa bicara sebentar? Di ruang makan?” Mas Wisnu meminta.

Aku berpikir sejenak. Menimbang risiko dan segala kemungkinan. Hati kecilku mengatakan bukan saatnya untuk berbincang dengan lelaki ini. Tapi satu sisi entah mengapa diri ini begitu ingin sekadar ngobrol untuk mengobati luka hati.

“Lima menit.” Aku menawar. Mas Wisnu langsung mengangguk. Aku langsung mengikuti langkahnya menuju dapur.

Suasana rumah begitu hening. Ibu dan Mbak Mel pasti sudah terlelap dalam mimpi indahnya.

Kami duduk saling berhadapan di meja makan. Lampu kuning temaram menyala di tengah-tengah, membuat suasana begitu syahdu. Bunyi jangkrik dan cecak bergantian mengisi kesunyian.

“Minum, Dek.” Mas Wisnu mendorong secangkir coklat panas ke hadapanku. Asapnya mengepul dengan aroma manis yang menggoda. Perasaanku dipenuhi dengan keheranan. Ada apa dengannya? Malam-malam begini bukannya tidur bersama istri? Kok, malah mengajakku ngobrol sambil minum coklat?

“Langsung saja, Mas. Jangan sampai Ibu atau Mbak Mel memergoki kita. Aku malas bertengkar.”

Mas Wisnu terlihat tak enak. Mungkin dia merasa bersalah.

“Aku baru sehari di sini dan sudah bikin masalah. Aku minta maaf, Dek Ayu. Sungguh, nggak ada maksud.”

“Oke. Jadi, kamu sudah tahu kan bagaimana keadaan rumah ini? Lama-lama kamu juga bakalan tahu sifat Mbak Mel.” Aku meraih cangkir dan menghirup isinya perlahan. Nikmat. Manis bercampur pahit bercampur jadi satu.

“Hmm, masalah Mbak Mel-mu, aku sudah paham bagaimana sifat aslinya. Ah, tidak perlu dibahas. Aku harap dia mau berubah.” Mas Wisnu melempar pasangannya jauh ke depan. Seolah sedang menerawang.

Aku memang baru mengenal lelaki ini. Sebelum menikah, dua tahun belakangan dia memang berpacaran dengan Mbak Mel. Lelaki lembut dan penurut ini kudengar sering sekali menjadi sasaran kemarahan Mbak Mel jika sedang ada masalah di kantor. Mereka memang rekan satu pekerjaan. Mbak Mel staf pemasaran, sedang Mas Wisnu adalah kepala divisi riset pasar dan promosi. Mereka bekerja di perusahaan retail ternama.

Berbicara secara intens dengan Mas Wisnu memang belum pernah kulakukan. Kami hanya bertegur sapa biasa saat dia mengapel Mbak Mel atau kebetulan mengantar-jemput istrinya tersebut. Malam ini, adalah kali pertama kami duduk hanya berdua saja dan berbicara layaknya sahabat lama.

Maaf Kurebut Suamimu, MbakWhere stories live. Discover now