Sayang, Rana.

3K 279 34
                                    

Alina memarkirkan mobilnya di tempat yang aman lalu menarik rem tangan.

"Eh, tunggu sebentar Rana." Alina mencegah anak perempuan semata wayangnya yang hendak keluar.

Gerakan tangan Rana terhenti, ia menoleh ke mamanya yang berada di balik kemudi.

"Selfie dulu." Alina mengeluarkan ponsel dari tas.

Rana berdecak. "Ngapain selfie tiap hari, sih, Ma," protesnya.

Alina tidak menggubris. Ia mengeset kamera depan dan mengatur posisi untuk mendapat angle yang pas. "Senyum Rana," perintahnya.

Rana tersenyum malas. Bosan setiap mamanya mengantar ke sekolah, disertai ritual selfie.

"Hati-hati, Sayang," pesan Alina ketika anaknya turun. "Belajar yang rajin, ya."

"Assalamu'alaikum," salam Rana sebelum menutup pintu.

Alina membalas salam dan melambai. Matanya mengikuti Rana sampai anaknya itu masuk ke gerbang. Ia tersenyum kecil lalu kembali membuka ponsel untuk mengecek hasil foto barusan. Setelah memilih yang paling bagus dari lima foto, ia mengunggahnya di Instagram miliknya.

Dia memberikan caption. "Alhamdulillah, bisa mengantar anak sekolah pagi ini. Insya Allah jadi anak salihah. Doain ya Om dan Tante."

Tidak lupa menambahkan lokasinya, di SDIT favorit di kotanya.

Done.

*****

Selesai mengantar anaknya sekolah, Alina langsung pulang dan mandi. Setelah mandi ia bersiap-siap hendak ke toko. Sudah lima tahun ini ia menggeluti bisnis pakaian. Awalnya hanya menjadi reseller produk orang lain, kemudian naik tingkat menjadi distributor. Selanjutnya ia membuat lini produksi sendiri. Perjalanan panjang dengan proses yang tidak mudah, tetapi Alina berhasil menggapai impiannya. Ia memiliki distributor dan reseller di berbagai kota di Indonesia.

Ia menyebut kantornya toko, padahal fungsinya bukan hanya untuk display sample product, tetapi juga sebagai gudang, tempat rapat, dan admin yang menerima orderan secara online.

Alina memperhatikan tampilannya di cermin yang ada di foyer. Ia memperbaiki letak bros di kerudungnya. "Mbak Irah!" serunya.

"Dalem, Bu," sahut suara dari dalam.

"Saya nggak makan di rumah," pesannya kepada Irah ketika asisten rumah tangganya itu menghampirinya. "Jadi nanti masak untuk makan malam saja. Saya kemarin beli daging, bikin semur, ditambah kentang. Terus sayurnya tumis kangkung."

"Baik, Bu," jawab Irah sopan.

"Sama goreng tempe," tambah Alina sembari mengecek riasan wajah di cermin. "Baik, Bu."

Setelah memastikan tampilannya tidak tercela, ia beranjak ke teras. "Saya pergi dulu, Mbak." Alina mengucapkan salam dan masuk ke yaris merahnya.

Ia menghela napas dan mengembuskannya pelan. Sebuah senyum tersungging di bibir pink-nya. Ia bersyukur dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini.

Sempurna.

*****

"Rana, langsung mandi, ya," perintah Alina ketika anaknya turun dari mobil.

"Iya, Ma," jawab Rana. Mamanya masih saja menyuruh hal yang sama, padahal setiap hari sepulang sekolah ia selalu mandi.

Selepas Ashar Alina menjemput anaknya sekolah. Siklus hidupnya seperti itu setiap harinya. Ia membagi waktu antara keluarga dan bisnis. Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti. Ia ingin membuktikan kalau perempuan bisa berbisnis tanpa menelantarkan keluarga.

Short StoryWhere stories live. Discover now