18. Pulang Adalah Padamu

Start from the beginning
                                    

“Ah, yang benar saja. Bahkan hanya dengan telunjuk tangan aku bisa menghancurkan kamu, perusahaanmu, nama baikmu dalam sekedipan mata. Apa aku harus membuktikan ucapanku ini, Abraham?” Jao sudah berubah menyerupai iblis yang konon katanya bertahta di segitiga Bermuda. Pria itu menoleh pada Galih yang masih mematung di sebelahnya.

“Benar kan kataku, Galih. Manusia selalu dipenuhi rasa tamak?”

“Kau selalu berpikir bahwa keputusanmu adalah kebenaran,” Abraham akhirnya bersuara dan mengambil keputusan untuk melawan Jao, bukan diam saja mebiarkan pria itu menghakiminya. “Kau mengabaikan kebenaran yang lain dengan mempercayai bahwa pemikiran orang lain itu keliru. Itulah kesalahanmu yang paling fatal, Jao. Kau terlalu sombong untuk ukuran manusia.”

Jao kembali tersenyum dengan cara paling sadis, “karena keputusanku menimbang segala sisi. Berbeda dengan keputusan yang kau buat. Kau hanya mementingkan untung dan rugi. Manusia seperti kalian memang membutuhkan orang sombong sepertiku untuk membungkam. Kesombongan dibalas kesombongan, bukankah itu setara?”

“Tanpa perlu kusimpulkan kau sudah mengakuinya. Kau tak bisa mengelak bahwa sebenarnya kaulah sumber masalah ini.”

“Percuma aku datang ke sini. Kalian tidak akan menyadari kesalahan kalian. Justru menimpakan kesalahan pada orang lain.”

“Sebentar, apakah menurutmu mengutamakan untung dan rugi itu sebuah kesalahan? Lantas kalau kami tak memperhitungkan keuntungan, siapa yang akan bertanggungjawab pada kami? Minimal membayar kerugian yang kami peroleh?” Abraham berdiri, “selama ini kami diam saja saat kau dengan kesombonganmu menghentikan rencana bisnis kami. Dan, kini kau marah saat kami balas? Omong kosong apa ini?”

Jao mengedip tidak menyangka bahwa selama ini dia telah bergaul dengan orang yang memandang dunia dengan dua warna, hitam dan putih. Untung dan rugi. Pandangan yang sangat dangkal. Niatnya memberi warna lain agar menyentuh sisi kemanusian mereka tak berhasil. Siapa nyana sekarang Abraham dan Galih malah mendendam karena perkara uang?

“Aku baru sadar bahwa memang sebenarnya aku tidak bisa mengubah dunia, menjadikan orang-orang di dalamnya seideal mungkin, menyulap manusia yang mementingkan urusan pribadi menjadi lebih ramah pada mereka yang papa.” Jao menghela napas. “Tapi, kalau kalian mencoba menghancurkanku atau keluargaku, aku tidak akan tinggal diam dan ingat baik-baik, pembalasanku bukan sesuatu yang remeh. Pembalasan yang akan kalian terima akan membuat kalian berpikir untuk mati.”

***

Kejora terpaku di tempatnya. Antara ruang keluarga dan ruang tamu. Jangankan meminta ototnya untuk bergerak, menjawab salam yang diucapkan pria di depan pintu saja dia tak mampu. Hanya matanya. Ya, hanya matanya yang berbicara lewat tetesan-tetesan yang meluncur melalui pipinya. Setelah seminggu tanpa kabar, akhirnya pria itu pulang. Dia sudah melewati tujuh malah yang serasa tujuh ratus tahun yang menyiksa. Dan, dia tak menyangka siksa itu akhirnya berhenti hari ini. tepat ketika Jao bsa terlihat kembali dalam jangkauannya.

Jao berjalan dengan ritme tenang, bibirnya menyunggingkan senyum yang hangat dan manis. Dan, tanpa dia duga Jao menghadiahinya sebuah pelukan.

“Maaf, membuatmu menunggu.” Ucap Jao lirih di dekat telinganya. Seperti denting musik dedaunan yang membuat daun-daun berguguran, Kejora luruh begitu saja. Dia membalas pelukan Jao lebih erat dari seharusnya. Pria yang tengah memeluknya begitu nyata. Dia tidak sedang bermimpi. Jao sudah kembali. Jao sudah pulang.

“Maaf karena aku sudah tidak mempercayaimu. Maaf karena berpikiran buruk terhadapmu. Maaf....” Kejora menangis dan dia sadar betul menangis karena apa. Tak semenitpun dia menyesal sudah menangis di hadapan pria ini, pria yang menjadi suaminya. “Maaf karena aku sudah menyakitimu tanpa kusadari.”

Jao mengusap bahu Kejora pelan, “kupikir akan sulit untuk kembali. Tapi, saat kau didepanku entah kenapa semua terasa mudah, semua terasa benar dan aku senang karena akhirnya aku mengambil keputusan yang tepat.”

“Terima kasih, Jao. Terima kasih sudah mau mengambil resiko untuk pulang.”

Jao melepaskan pelukannya hanya untuk menghapus airmata Kejora dengan jemarinya. Pria itu memandang wajah Kejora yang kuyu dengan penuh rasa syukur.

“Apa kau juga menangis seperti ini saat aku tak ada?”

Kejora tak menyahut. Dia menenggelamkan kepalanya pada dada Jao yang bidang. “Tapi, kau memang sepenting itu buatku, Jao.”

Tangan Jao melingkari pinggang Kejora, merasa bersalah, merasa bahagia, merasa tak pantas, merasa harus memperjuangkan hubungannya dengan Kejora. Semua hal yang bertolak-belakang itu memenuhi dirinya, berkecamuk seperti badai. Lagi dan, lagi... bukankah jodoh selalu kembali pada takdirnya? Seperti pria itu yang memilih kembali pada wanita yang sama. Wanita yang telah dia sukai sejak ia remaja.

***


Assalamualaikum, apa kabar? Senang akhirnya setelah ratusan purnama nggak apdet dan hari ini bisa apdet. Aku harap sih kalian juga seneng karena cerita ini. Yang merasa udah lupa ama cerita ini, baca ulang lagi geh. Bahahaa. Yang nggak lupa, makasih ya kalian pertanda pasangan setia. Wkwk
Betewe, tamat sampai di sini atau lanjut lagi?
Tabik,
Susan Arisanti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaWhere stories live. Discover now