14. Bukan Alienasi

23.1K 3.1K 579
                                    

Apa yang orang pikirkan tentang pagi? Apakah tentang hari baru yang lebih baik, kedamaian setelah melewati malam, kejernihan saat berpikir, atau justru rasa malas? Di antara beberapa pilihan itu, poin terakhir-lah yang dialami Kejora. Otaknya tidak berhenti memutar serentetan kejadian, terutama ucapan Jao dalam keadaan mabuk, pun sadar. Memahami pikiran Jao membuatnya terjebak dalam dua posisi, antara menertawakan atau menangis. Tertawa untuk apa? Untuk segala hal yang dimaknai Jao dengan pemahaman dangkal padahal notabenenya, Kejora melihat dengan mata kepala sendiri, Jao memiliki sertifikat pendidikan doktor dari sebuah universitas bonafit di luar negeri.

Sekali lagi, pendidikan ternyata bukanlah jaminan seseorang punya iman. Tak ubahnya Jao yang menjadi budak pemikiran atheisme dan agnostisisme yang termakan bujuk rayu Paradoks Epicurus. Seharusnya, Jao belajar banyak dari filosof barat, misal Leibnis yang menolak paradoks itu dengan Theodisea. Atau kalau teori the best possible world mengajarkan manusia pasrah dan pasif, Jao bisa mengambil teori Voltaire yang berpegang pada rasionalitas, namun tidak menampik keyakinan terhadap Tuhan. Meski pada akhirnya, teori penecerahan modern mulai ditinggalkan karena terjadinya Perang Dunia I dan II. Dan kembali, seorang filsuf Jerman, pendahulu Karl Marx, Feurbach menggugat Tuhan dengan menelurkan ide tentang beragama sebagai alienasi, keterasingan manusia dari dirinya. Menurutnya. orang beragama menjadi asing karena memahami dirinya sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya, berhadapan dengan Yang Maha Baik, Kuasa dan Adil, padahal semua itu adalah sifat manusia sendiri. Singkatnya, baginya, manusia menyembah potret idealnya sendiri.

"Kak Jor! Kak Jor!" Teriak Berlian menaiki tangga dengan tergesa-gesa.

Kejora berhenti melamun, menutup laptop kemudian tersenyum ke arah adik iparnya. Di tangan Berlian ada telpon rumah tanpa kabel.

"Ada apa?" Tanya Kejora sambil mengurai senyum lembut.

"Ada telpon dari kepolisian." Berlian menyerahkan telepon. "Ini ya, Kak. Aku ke bawah lagi. Masih ngerjain tugas proyek belum selesai."

Kejora mengiyakan, mendekatkan telepon dengan telinga kemudian mengucap salam.

"Selamat pagi juga. Dengan Nyonya Jaoshim Nayoan?" Balas si penelpon. Suaranya tegas, santun dan renyah.

"Iya, Pak."

"Kami dari polrestabes Bandung. Ada hal yang akan kami sampaikan. Perihal pelaku pembegalan yang menewaskan salah satu teman dari suami Anda." Lanjut petugas itu tegas.

Kejora meringis, polisi ini tidak tahu bahwa teman dari suaminya adalah kakak kandungnya sendiri. "Iya, apa pelakunya sudah tertangkap, Pak?"

"Benar. Kami sedang mengidentifikasi kawanan begal yang tertangkap tadi shubuh. Anda bisa menyampaikan pada suami Anda agar bisa datang ke kantor kami untuk memastikan ciri-ciri fisiknya sama dengan yang kami tangkap. Mohon kerja sama, Bu." Si polisi berhenti sejenak, menunggu respons Kejora.

"Baik, nanti saya sampaikan. Terima kasih untuk informasinya." Kejora mendengar basa-basi polisi sebelum menutup panggilan. Setelah itu, dia menghubungi Jao. Sayang, panggilannya tidak diangkat. Dia memutuskan berkirim pesan pada sang suami. Oh ya, Kejora baru tahu kalau Jao seseorang yang anti pada aplikasi chatting. Meskipun ponsel Jao canggih luar biasa, gadgetnya hanya digunakan untuk bermain game. Kalau saja dia murah senyum, Kejora mungkin akan mengejeknya untuk bawa PSP saja agar lebih mudah bermain game dan menjual ponsel pintarnya itu lalu membeli HP yang bisa dipakai untuk dua hal, menelpon dan SMS.

Ah, jangan kirim pesan dulu. Bisik hati Kejora. Alasan memberitahu bahwa penjahat tertangkap cukup masuk akal walau sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara Jao. Kejora menghapus pesan yang sudah ditulis lalu mendial nomer suaminya lagi.

"Ya, Sayang...." Jao mengangkat panggilannya dengan sapaan yang ketika didengar Kejora, berhasil membuat jantungnya mencelat ke langit-langit rumah. "Halo? Halo?"

Pria Gerhana Yang Membawa Cinta Untuk SurgaWhere stories live. Discover now