x

220 24 92
                                    

Calum

Jujur, jantung gue masih deg-degan dari saat berpisah dengan Kayla di stasiun MRT sampai gue sudah berada di apartment gue kembali. 2 tahun berselang dari terakhir melihat rambut panjangnya yang sering diikat satu hingga rambutnya yang kini ditata lebih pendek.

Kayaknya tubuh gue memproduksi hormon Serotonin secara alami, deh, setiap gue ngeliat dia tertawa atau tersenyum. Seneng kalau jokes gue yang sebenernya garing dan suka enggak lucu ini tetep bisa bikin dia ketawa juga. Bagus, deh. Soalnya, kalau kita lagi ketawa katanya aliran darah dari jantung ke seluruh tubuh akan lebih lancar dan produksi oksigen dalam darah meningkat. Syukur, bisa ngebantu Kayla terlindungi dari stroke dan penyakit jantung. Oke juga, nih, ketawa, banyak manfaat.

Tapi beda ceritanya ketika gue menginjakkan kaki di apartment gue ini, kaos berserakan, buku dan gelas setengah kosong di atas meja, dan, aduh, maaf, ya-ada kaos kaki di lantai. Tapi sumpah, gue biasanya enggak begini,kok. Siang tadi gue hampir telat untuk ketemu Kayla dan karena gue buru-buru, gue enggak sempat untuk membereskannya.

Belum lima menit gue duduk di sofa, telepon gue berdering. Gue melihat caller id-nya.

Mama Simpati
is calling...

Biasanya mama telepon lewat WhatsApp kecuali ada yang penting.

"Calum," Lega mendengar suara mama yang terdengar biasa dari seberang sana. "Calum dari mana aja?"

"Astaga, maaf, Ma,lupa bilang," gue meringis, "Tadi Calum pergi ke Sency, ketemuan sama Kayla. Mama tadi kesini? Jam berapa? Nyupir sendiri apa sama papa?" jawab gue sambil berjalan ke kamar.

Mama terdengar kaget, "Eh iya, Kayla udah di Jakarta, ya?" gue mengangguk walaupun mama juga tidak bisa melihatnya. Kemudian beliau melanjutkan, "Bukan, bukan mama yang kesana. Tadi Lila yang kesana, pas kamu lagi pergi berarti."

Mendengar nama perempuan itu disebut, gue diam sejenak. "Oh..."

"Nungguin kamu agak lama enggak balik-balik, akhirnya Lila ke rumah," lanjut mama hati-hati. "Nganterin undangannya."

Marah, kaget ataupun kecewa rasanya normal untuk gue rasakan saat ini, tapi nyatanya tidak, mungkin karena gue sudah mengira bahwa pada akhirnya ini bakal terjadi. Gue justru tertawa, "Lho? Calum diundang? Kirain enggak,"

"Calum," tegur mama dengan nada yang sama persis seperti yang beliau gunakan dulu ketika gue sudah mulai meninggikan suara saat berargumen dengan papa di meja makan. "Bercanda, mamahh," sengaja gue panjangkan nada diakhir, biar mama tahu bahwa anak laki-lakinya ini benar baik-baik saja.

"Besok ke rumah, ya? Ambil sekalian undangannya," baru gue mau memprotes, Mama melanjutkan, "Deket juga, enggak usah banyak alasan. Kakak juga mau kesini sama suami dan anaknya."

Gue tertawa kecil karena memang benar, sih. Gue memutuskan tinggal sendiri karena, apa, ya? Gue juga lupa pastinya kenapa. Lebih karena gue mau hidup sendiri aja, sih, sebenernya. "Iya, besok Calum ke rumah. Mama mau dibeliin apa? Biar Calum ke carrefour dulu kalo iya."

"Mama enggak. Calum yang mau dimasakin apa?" tanya mama balik. Gue menggeleng sambil menjawab, "Apa aja, deh, yang mama punya aja bahannya di rumah. Eh, Ma, Calum mandi dulu, ya?"

Setelah mama mengiyakan dan sambungan telepon terputus, gue bersiap untuk mandi. Setelah selesai mandi, jam menunjukkan pukul 8 lebih ketika tiba-tiba Luke mengirim gue pesan di Line.

Luke SMA |
Cal :-)
Can I cRASH At your place?

Calum H |
Sumpah, typing lo bikin jijik
Pantes enggak ada yang match di tinder
Enggak

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

when i meet you again / calumWhere stories live. Discover now