viii

181 29 57
                                    

Calum

"Papa percaya sama kamu."

Gue sempat mengira bahwa 4 kata yang keluar dari mulut papa sore itu cuma ada dalam mimpi gue. Tapi ternyata enggak, sekitar 4 jam berselang dari pengumuman SBMPTN dan gue dinyatakan diterima di pilihan pertama, papa masuk ke kamar gue untuk memberi ucapan selamat. Dan sebelum keluar kamar, beliau menyempatkan diri untuk mengucapkan 4 kata tadi. 4 kata yang hebatnya selalu bikin gue seneng setiap kali mengingatnya. Bahkan sampai detik ini gue sudah lulus dan bekerja.

Papa percaya sama gue. Dampak yang diberikan dari kalimat tersebut begitu magis bagi gue. Mungkin 4 kata itu pula yang membuat gue selalu bertahan untuk menyelesaikan kuliah. Ketika gue mau menyerah, gue selalu keinget wajah papa ketika mengucapkan 4 kata itu, beliau tersenyum sambil menepuk pundak gue.

Gue inget banget waktu pertama kali gue bilang gue mau gabung klub futsal sekolah dan harus beradu argumen dengan papa hampir seminggu tanpa henti. Gue juga inget waktu dulu sd gue pernah bolos kursus renang karena gue enggak mau, entah itu hitungannya bandel atau keras kepala. Sudah banyak hal-hal rabel yang gue lakukan ke papa sejak dari dulu, semata-mata menunjukkan ke beliau bahwa gue punya mimpi sendiri.

Perlahan, semakin dewasa gue semakin bisa menjelaskan apa keinginan gue ke papa yang juga semakin mengerti dan mendukung apapun yang gue lakukan. Kebebasan yang akhirnya gue punya akhirnya menjadi pengingat bahwa gue harus bertanggung jawab terhadap apapun pilihan yang telah gue ambil.

Intinya, gue tidak pernah membenci papa, mungkin cara mendidik setiap orangtua berbeda, begitu pula dengan papa. Apapun yang terjadi, I have so much respect for him.

Tahun pertama kuliah, gue selalu menyempatkan diri untuk menelepon Kayla yang saat itu sedang beradaptasi dengan kota Yogya. Biasanya dia lagi makan malem kalau gue telepon, lauknya ayam penyet atau ayam geprek yang jualan deket kosan dia. Pernah juga dia nyoba-nyoba masak kalau lagi niat. Gue selalu mendengarkan apa saja yang dia ceritakan; jadwal kuliahnya yang padat, swalayan yang baru dia temuin dan langsung jadi penyelamat kalau dia butuh apa-apa, cafe-cafe yang suka dia datengin untuk nugas kalau kebetulan lagi banyak uang, dan masih banyak lagi.

Gue inget semua hal itu. Termasuk pesan yang masuk ke alamat e-mail gue suatu hari di Bulan Oktober di tahun kedua kami kuliah, ketika gue dan dia sama-sama berusia 19 tahun. E-mail dengan subject 'Man of My Dream HAHA :D' yang berhasil membuat gue menghentikan kegiatan nge-coding gue dan segera beralih untuk membukanya.

Sebuah narasi panjang tentang lelaki bernama Dion yang awalnya dia panggil dengan embel-embel 'kak' namun berakhir dengan panggilan nama ketika mereka resmi berpacaran.

"I don't need to be saved," kira-kira begitu kata Kayla barusan. Bodoh, ya, gue? Dulu selalu gue yang bilang, orang paling kuat yang pernah gue temui itu, dia orangnya. Kenapa sekarang gue yang malah menganggap dia selemah itu?

"Cal!" suara Kayla membuyarkan lamunan gue, membuat gue kembali tersadar. Gue mengerjapkan mata, menatap Kayla yang sudah hampir habis melahap Ravioli-nya. "Bukan ide yang bagus ya, kita ketemu sekarang?"

Gue tertawa, berusaha menutupi kekagetan gue dan melanjutkan makan. "Enggak, kok, La. Habis ini, jalan dulu mau enggak?"

Kayla tertawa, syukurlah. "Emang gaji lo gede banget ya, kayaknya. Mau nraktir gue apalagi?"

"Soalnya gue masih penasaran, setelah lo balik Jakarta, gue kontak lo nanyain kabar enggak pernah dibales, giliran gue bilang mau nraktir lo aja, baru dibales." Semoga gue enggak salah ngomong.

Kayla perlahan tersenyum, "Karena gue percaya sama lo, Calum. Itu ucapan yang lo bilang waktu kita di mobil, habis prom night, inget, enggak? Lo bilang lo mau nyisihin gaji pertama lo buat gue. Dan gue mau nepatin janji gue dengan ada disini."

when i meet you again / calumWhere stories live. Discover now