Tamu

305 30 2
                                    

Pagi sekali Hanum menyiram tanaman didepan rumahnya. Saat itu kebetulan sekelompok ibu-ibu yang mau berangkat metik lewat depan rumahnya.

Melihat Hanum tak biasa sepagi ini menyiram bunga mereka tertarik untuk menghampirinya. Saat mereka datang Hanum tersenyum dan menghentikan kegiatan menyiramnya.

"Si eneng rajin pisan nyiram bunga pagi- pagi," celetuk bi Erom.

"Iya Bi biar seger terus bunganya," Hanum tersenyum lagi.

"Neng Hanum belum kerja?" Salah satu dari rombongan itu bertanya lagi.

Merasa dikeroyok Hanum mencoba menjawab dengan tenang, " belum Bi, masih bingung"

"Kerja di pabrik aja neng gajinya lumayan, dibayarinnya tepat waktu. Daripada honor di desa, gaji si Lilis aja tiga bulan nggak dibayar-bayar." sahut bi Ipah.

"Iya selain di pabrik mah gaji kecil. Si Reni aja jadi guru gajinya cuman tiga puluh rebu sebulan mana dibayarkannya pertiga bulan lagi. Mana cukup buat makan dibeliin satu lipen aja keburu habis duitnya."

"Di puskesmas aja neng Hanum kata si Ida, gajinya tepat waktu dikasih," timpal Bi Kokom.

"Hus kumaha ari maneh Kokom, neng Hanum mah kuliahna lain bidan moal bisa digawe dipuskesmas mah," Bi ikoh sewot menimpali.

Hanum yang tadinya mau tersinggung karena sampai saat ini ia memang masih pengangguran, melihat ibu-ibu itu ngotot berargumen, ia malah tersenyum daripada menanggapi.

"Neng Hanum kumaha ceritanya Bapak kamu teh bisa masuk penjara?" Bi Tati tiba tiba datang menghampirinya, bertanya pada topik yang memang sedari awal ingin mereka tanyakan.

"Bapak ada masalah di pabrik Bi," Hanum menjawab dengan segan.

"Enya naon masalahna neng? pan Bapak kamu mah orang baik, orang kepercayaan juragan, kok bisa tiba-tiba masuk penjara "

Hanum terdiam, bingung  harus menjawab apa.

"Eh Tati udah atuh tingali tuh si eneng bingungeun kitu, giru kaburu caang, dicarekan ku mandor nanti cepetan ah"
Bi Inah buru buru jalan didepan memimpin rombongan yang akhirnya diikuti ibu-ibu lain dibelakangnya. Secepat kilat mereka berlalu dan rombongan itu menghilang diujung jalan. Hanum bernafas lega.

****

Hampir jam sembilan pagi. Hanum melipat sajadah bekas sholat dhuhanya, menggantungkan mukena yang telah dihanger kedalam lemari, ia sudah membaca al-Quran beberapa lembar sebelum sholat tadi.

Terpikir olehnya obrolan ibu-ibu tadi, dirinya memang masih bingung mau kerja dimana, walaupun bapak hanya ditahan tiga tahun apa pun bisa terjadi dikemudian hari. Uang peninggalan bapak sebenarnya masih cukup untuk satu tahun kedepan tapi tetap ia harus siaga dengan kebutuhan tak terduga lainnya, ia harus segera memutuskan.

Diambilnya ponsel diatas kasur. Dipilihnya galeri, ditatap foto ayahnya lekat-lekat, air mata menitik perlahan. Khawatir dan rasa rindu menyeruak tiba-tiba. Bermasalah dengan juragan Surya tentu bukan sesuatu yang pada akhirnya akan berbuah baik. Ia tak tahu bagaimana detail kejadian itu, tapi intimidasi dari sang Juragan membuat ayahnya mengambil keputusan untuk menyerahkan diri pada pihak berwenang.

Ia tak bisa membantu ia hanya bisa pasrah dan tawakal kepada Allah Dzat Yang Maha Menguasai atas cobaan ini dan hanya minta kekuatan untuk dia dan ayahnya agar semuanya cepat berlalu.

Ketukan pelan membuyarkan lamunannya. Terdengar kemudian suara bi Darmi dari luar pintu memanggilnya setengah berbisik, "Neng tamu yang kemaren teh datang lagi"

Tamu yang kemaren?. Hanum bergegas mulai memasang jilbabnya, membuka pintu kamarnya, " tamu yang mana Bi?"

"Tamu yang bawa bunga banyak buat Eneng kemaren."

"Mereka bawa bunga lagi Bi?"

"Nggak Neng"

"Buat apa lagi mereka datang ya Bi"

Bi Darmi hanya menggeleng sama bingung dengan majikannya.

"Ya udah Bi biar aku samperin aja," Setelah selesai memasang jilbabnya Hanum bergegas menuju ruang tamu diikuti Bi Darmi tergopoh-gopoh menyamai langkahnya dibelakang.

"Tapi neng mereka bertambah jadi empat orang" bisik bi Darmi lagi.

"Empat orang Bi?" Hanum menghentikan langkahnya sejenak. Kemarin tiga orang.

"Iya neng, tapi sepertinya mah yang satu ini agak beda."

"Beda gimana bi?"

"Beda kan neng!" bi Darmi setengah berbisik saat Hanum tertegun diambang ruangan menatap tamunya.

Rupanya tamu-tamu itu telah duduk dikursi ruangan tamu. Benar mereka tidak bertiga lagi, kini berempat, dan yang keempat itu tengah tersenyum manis dengan santai kearahnya. Hanum menatapnya, dia...

"Lama tak bertemu."

Hanum terkejut melihatnya saat ini, dirumahnya. Dia sangat berbeda. Setengah mati Hanum mencoba menguasai diri agar tidak nampak kaget. "Kapan kamu pulang?" setengah sadar ia bertanya.

"Dua bulan yang lalu, kamu kemana aja!" Dia kemudian berdiri memasukan tangan ke saku celananya dan mulai mengelilingi ruang tamu itu, diperhatikannya  bunga-bunga yang terdapat diatas nakas satu persatu.

Dia sudah dua bulan dsini kenapa aku baru tahu pikirannya terus bertanya. "Terus kenapa kamu datang kesini?" Hanum mencoba menetralkan suaranya senormal mungkin, agar tak terdengar gugup.

Dia membalikan badannya dari memerhatikan bunga-bunga diatas nakas ke arah Hanum yang berdiri dibelakangnya. "Oh ya, kamu suka bunga bunga yang aku kirim ini?" Ia kemudian mengambil setangkai mawar merah dari satu satu bunga itu.

Bunga bunga itu dia yang kirim, bisa bisanya aku berpikir Juragan surya yang kirim.

"Kayaknya kamu terkejut! tenang aja itu nggak ada hubungannya dengan Bapak."

Ngga ada hubungannya " terus buat apa?" Hanum masih tak habis pikir untuk apa dia mengirimkan bunga-bunga itu kerumahnya, dalam kondisi seperti ini.

"Sebagai bentuk peduli aku sama kamu"
Diletakkannya kemudian setangkai bunga mawar itu diatas meja tepat berada disebelah tempat Hanum berdiri.




HanumWhere stories live. Discover now