Prolog

1.1K 142 29
                                    

Buku berserakan di sekeliling mereka. Sambil memangku laptop masing-masing, ketiganya fokus pada apa yang tertera di layar monitor. Aeera dengan penulusurannya di laman Wikipedia, Edsel tengah mendengarkan kajian Injil lewat Youtube, sedangkan Harsa sibuk dengan risetnya untuk konten di blog.

Gazebo yang berada di sudut taman Fakultas Psikologi memang sudah seperti basecamp untuk mereka. Selain karena tempatnya yang sejuk, gazebo tersebut juga lumayan terjangkau akses Wifi fakultas. Benar-benar tempat favorit.

"Ra, bisa tolong carikan referensi jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam?" pinta Harsa tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan. Jari-jarinya masih lincah menari di atas papan tombol laptop, menyusun kata demi kata di laman kerjanya.

Tanpa sadar, Aeera menghela napas panjang. Ingin sekali protes, tetapi lagi-lagi urung. Sudah sejak tadi Harsa meminta bantuannya mencari referensi informasi ini dan itu. Padahal, ia juga sama sibuknya, setidaknya begitulah penyangkalan Aeera.

"Sejak kapan seorang Harsa terpaku pada data statistik? Biasanya juga isi blog kamu penuh sama opini-opini terbuka yang lebih kayak teori konspirasi." Sama halnya dengan Harsa, Aeera pun mengungkapkan isi pikirannya tanpa menoleh sedikit pun. Sorot matanya tetap fokus pada deretan huruf penuh makna tersebut.

Lelaki berkacamata di samping Aeera tak mau repot-repot menimpali. Baginya, video yang tengah ia tonton lebih menarik dari apa pun, lebih-lebih ia mengenakan headset.

"Memang jumlah penduduk berdasarkan agama tertentu bisa dibuat opini? Kuantitas suatu kelompok tidak bisa dinilai dengan perkiraan, Aeera. Harus ada angka eksak." Tatapan mata Harsa sudah mengarah lurus pada Aeera yang bersandar pada tiang kayu gazebo.

Merasa mendapat intimidasi, Aeera mengangkat kepala, membiarkan bacaannya terjeda tepat di poin ketiga. "Sepuluh lebih banyak daripada tiga, lalu ada yang membantah dan menyatakan bahwa tiga lebih banyak daripada sepuluh, dengan bukti bahwa dia bisa mengubah tongkat menjadi ular dan membalik tiga menjadi lebih banyak daripada sepuluh. Itu membuktikan bahwa sepuluh lebih banyak daripada tiga adalah pengetahuan yang tidak bisa sepenuhnya dipercaya dan tidak bisa memberi jaminan kebenaran." (Tahafut Falasifah: 33)

Aeera sejenak memberi jeda, gadis itu membiarkan Harsa mencerna ucapannya, pun Edsel yang sudah ikut melongo dengan headset yang sudah dilepas dari telinga.

"Angka eksak bagimu itu opini bagiku, Harsa. Terlepas dari hitungan Matematika, angka itu memiliki pandangan filosofisnya sendiri. Nggak ada yang benar-benar bersifat benar kecuali kebenaran itu sendiri." Sedang Aeera tersenyum manis, Harsa dan Edsel justru geleng-geleng kepala menanggapi pikiran gadis itu. Entah sudah berapa banyak teori filsafat yang dipelajari, isi buku pun sudah seperti hafal di luar kepala.

Merasa lelah dengan situasi yang ada, Harsa benar-benar menyingkirkan laptop dari pangkuan. Ia memilih membereskan buku dan menumpuknya tepat di samping tubuh. Sama halnya dengan Harsa, Edsel pun menutup lama Youtube dan fokus pada Aeera.

"Jadi, bagaimana aku bisa membuat opini tentang jumlah muslim tanpa data statistik?" tanya Harsa.

"Berbeda aliran, beda pula ajaran kami, meski akarnya sama. Tiap aliran memiliki kriteria masing-masing dalam menentukan apakah seseorang termasuk muslim atau bukan. Karena jujur aja, ada pendapat di mana pengikut aliran tersebut melakukan satu kesalahan atau nggak memenuhi satu kriteria, maka dia nggak lagi dianggap muslim. Jadi, misal aku bilang jumlah muslim sepuluh ribu, bisa jadi menurut orang lain hanya tujuh ribu atau kurang. Kembali lagi, angka itu opini."

Perlahan, senyum Edsel terbit. Lagi-lagi ia merasa takjub dengan teman perempuannya yang satu itu.

Harsa sendiri, sudah mengangguk paham di tempatnya. Ia seakan mendapat pencerahan dari penjelasan itu. "Oke, aku mengerti harus menulis apa sekarang."

Kembali fokus pada laptopnya, Aeera kembali diinterupsi oleh pertanyaan kelewat santai yang dilontarkan Edsel.

"Tentang apa kali ini, Ra? Wikipediamu."

Gadis itu kembali mengangkat kepalanya. Ia menatap Edsel dengan senyum yang sangat lebar. "Filsuf Thales yang katanya nggak benar-benar ada."

"Hah?"

-o0o- 

Ehe, si labil kembali ke wattpad, aku gasuka sistem di web. Bodo amat didiskualifikasi.

I wanna say, welcome buat pembaca baru. Semoga cerita ini bermanfaat dan buang semua yang buruk-buruk. Be a wise and smart reader, yaps.

Em ... semoga orangnya nggak baca ini, hahaha. Thanks udah jadi inspirasi terbesar cerita ini tercipta, thanks juga karena finally di-notice buat keep in touch lagi (dia adalah salah seorang karakter di cerita ini) dan berbagi banyak wawasan baru ke aku. Hope we will be a good friend, Nil.

Lintas Rasa (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang