1: Initium

115 27 3
                                    

"To live is to suffer, to survive is to find some meaning in the suffering."

"Hidup berarti menderita.
Bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan."

- Friedrich Nietzsche

- - - - - - - - - - - - - - -


"Kamu beruntung."

"Maksudmu?"

"Iya, beruntung. Beruntung bisa datang ke tempat yang langka ini."

"Langka yang bagaimana?"

"Kerajaan Leeuwarden itu berbeda dengan kerajaan lain. Kami punya raja, tapi kepemimpinan tidak hanya pada satu orang."

"Bukannya itu wajar? Biasanya 'kan, memang ada raja dan perdana menteri yang berbagi tugas kepemimpinan."

"Bukan seperti itu, Sev. Salah satu pimpinan kami itu tidak resmi."

"Mafia, maksudmu?"

"Mirip seperti itu, lah. Tapi pimpinan yang tidak resmi itu juga bisa dibilang resmi."

"Kau membuatku pusing, Maia."

"Hehe, penasaran 'kan? Mau kuceritakan?"

"Apakah aku punya pilihan untuk berkata tidak? Sekalipun menolak, kau juga pasti akan tetap bercerita."

"Ehe, tentu!"

Brukk!!

Sevan melihat Maia jatuh tersungkur di dekat pohon yang berdiri tegak. Akarnya merambat sampai keluar di atas permukaan tanah. Begitu besar sampai menahan salah satu kaki Maia. Wajar saja, tempat mereka berada saat ini adalah hutan Fortis, terkenal dengan pepohonan yang kuat, mulai dari akar sampai rantingnya. Letaknya tak jauh dari desa Frisi, tempat mereka tinggal.

Ranting kayu yang tadi dibawa Maia sekarang berserakan. Rambut pendeknya sedikit kusut karena menyentuh tanah. Sevan mengulurkan tangan padanya yang tersenyum dengan sebagian wajahnya ternoda pasir.

"Ayo bangun. Tak usah begitu bersemangat saat bercerita sampai kau lupa memandang ke depan."

"Hehe, aku tak peduli, selama aku bahagia, terperosok ke dalam lubang sekalipun aku akan tetap tertawa, Sev," jawab Maia sambil membersihkan pakaiannya.

"Kau bisa lanjutkan ceritanya sekarang, Maia. Masih ada sekitar 10 menit sampai kita tiba di desa."

"Siap, serahkan padaku. Eh, tapi tadi sampai di mana ya?" ucapnya sambil menggaruk kepalanya.

Sevan pun menunggu Maia sejenak yang sedang mengolah pikirannya. Dia tahu, Maia selalu antusias sampai-sampai bingung ingin mengatakan apa. Mungkin karena terlalu banyak hal yang dia pikirkan, segala kata berkerumun di ujung bibir, berebut dan tak mau keluar secara bergantian.

"Ah iya, aku ingat. Kakekku pernah bercerita. Dulunya, Leeuwarden bukanlah sebuah kerajaan seperti ini. Namanya pun berbeda, tapi aku lupa namanya. Entah mengapa, kakekku dan orang-orang seumurannya tak bisa mengingat jelas tentang hal itu. Daerah dengan nama yg tak diketahui itu adalah wilayah kekuasaan sebuah kelompok penjarah harta. Namanya Gyul. Mereka terkenal bengis dalam melakukan kegiatannya. Tak hanya menjarah desa-desa, mereka pun menguasainya, menjadikan para penduduknya sebagai pekerja secara paksa," Maia memulai awalan cerita panjangnya dengan kalimat-kalimat panjang dalam satu tarikan nafas.

"Lalu?"

"Sabar lah sebentar, Sev. Tak perlu penasaran begitu," Maia menarik napas sejenak, kemudian meneruskan ceritanya.

In AestusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang