Two

1.9K 327 138
                                    

Dinasti Joseon, 1894

Jungkook meletakkan alat bekerjanya di halaman, mengusap keringatnya yang lengket setelah seharian memanen kacang di ladang dengan ayah dan ibunya saat seseorang datang ke rumah mereka, menyerahkan secarik perkamen sobek pada ayahnya yang menerimanya dengan khidmat seolah benda itu adalah wahyu dari Tuhan atau apa.

Jungkook mengamati ayahnya yang membawanya masuk ke dalam rumah, mengabaikannya dan ibunya dengan mulus. Alisnya berkerut, memangnya sejak kapan ayahnya bisa membaca? Apakah perkumpulan yang diikutinya juga mengajari mereka membaca?

"Itu apa?" tanyanya pada ibunya yang mengendikkan bahu, sama sekali tidak peduli pada apa pun urusan ayahnya seraya menurunkan keranjang anyaman berat di bahunya.

Membantingnya ke tanah dan mengerang saat tulang punggungnya kembali normal setelah membungkuk sepanjang sore memikulnya. Hasil bertani mereka kali ini cukup banyak; setengahnya akan diberikan ke pemilik tanah yang mereka urus dan sisanya jadi milik mereka. Bisa dijual, bisa dimakan.

Jungkook tersenyum menatap hasil panen dan mendesah, dia harus mandi dan bergegas menghampiri Taehyung yang pasti sudah menantinya, apa pun yang dirahasiakan ayahnya dari mereka tidak lagi menarik perhatiannya.

Sudah beberapa bulan ini mereka dekat. Jungkook selalu menghabiskan petangnya di istana Taehyung yang sunyi dan menenangkan. Dan Jungkook tahu bahwa tiap jam makan—pagi, siang dan sore akan ada pelayan yang datang membawa nampan terisi makanan lengkap yang cukup banyak untuk memberi makan dua orang. Jungkook selalu ikut makan bersamanya tiap kali makanan petang datang.

Atau Taehyung biasanya menunggu hingga Jungkook datang sebelum mulai memakan makan malamnya yang lezat dan hangat—tidak seperti makanan yang dihidangkan ibu Jungkook di rumahnya.

Mereka berbagi cerita, bertukar rahasia—membicarakan hal-hal yang berlawanan dalam hidup mereka. Jungkook diizinkan mencoba gonryeongpo Taehyung yang ternyat terasa panas dan berat, diberikan beberapa perhiasan yang membuat Jungkook ngeri dan menolaknya. Dia berbaring di ranjang Taehyung yang lembut, harum dan nyaman. Mendesah berharap dia bisa tidur di ranjang itu selamanya tapi tidak, dia tidak bisa.

Dia mendengarkan permainan gayageum cerdas dan lincah Taehyung; bagaimana dia dengan otodidak berhasil melahirkan nada-nada indah itu dari jemarinya. Dia berlatih sendiri sejak usia remaja, hanya mendengarkan tiap senar dengan saksama lalu berusaha menggabungkan nada satu dan yang lainnya. Meraba-raba, terus mencob dan terus mengulangnya hingga dia bermain seindah para dewi.

Selebihnya, Jungkook semakin faham betapa sedih dan kesepiannya Taehyung selama ini hidup di istananya. Sendirian tanpa teman mengobrol, tanpa orang yang benar-benar memahami perasaannya dan berhenti sejenak untuk bertanya apakah dia sehat dan baik-baik saja.

Bahkan kedua orangtuanya pun tidak.

Hari ini Jungkook akan membawakannya dalgona yang dibuat ibunya tadi karena mendapat cukup banyak gula dari tuan tanah mereka. Permen-permen karamel itu sudah dibungkus Jungkook dalam kain bersih, siap diselundupkan ke istana walaupun dia yakin koki istana mungkin bisa membuat penganan yang lebih enak dari ini. Tapi dia tetap ingin memberikannya pada Tehyung.

Malam itu dia berangkat agak terlambat karena harus membantu ibunya menyiangi kacang yang mereka baru saja panen. Memasukkannya ke dalam karung goni besar untuk dibawa ke tuan tanah mereka besok pagi-pagi sekali dan itu tugas Jungkook sebagai satu-satunya pemilik tulang punggung terkuat di keluarga mereka.

Wild FlowersWhere stories live. Discover now