DM || Bagian 25

13.2K 1.7K 84
                                    

"Aku membenci Nolla. Aku membencinya setengah mati. Dia merusak segalanya yang sebelumnya nampak indah. Maka dari itu, ketika Ibuku sedang sibuk di kamar, aku membawa Nolla ke mesin pemanggang agar hangus. Tapi aku tidak tahu kalau sebuah boneka kayu bisa mengedipkan matanya berkali - kali."

OoO

Derap langkah kaki pelan yang menginjak rimbunnya semak terdengar kasar. Selangkah demi selangkah menyusuri jalanan dengan ilalang tajam yang mengitari sekitar. Berdoa semoga hari ini cerah meskipun awan abu - abu yang awalnya berarak pelan mulai berubah menjadi angin kencang.

"Aku gak tahu harus bilang syukur apa harus bilang sial karena sebentar lagi bakal hujan?" Kamal membuka obrolan. Dia semakin mengeratkan jaketnya. Memperhangat diri. Pagi ini benar - benar dingin.

"Bilang syukur karena kalau gelap semakin sedikit resiko kita bakal ketahuan dan bilang sial karena ada kemungkinan kalau hujan, airnya bakal masuk sumur dan kita tenggelam terus mati di dalam." Yuta menjabarkan seringan mungkin. Seakan tanpa beban. Karena nyatanya, dia sendiri sudah sering berhadapan dengan maut.

Mereka berdua sekarang sedang mengendap - endap di samping rumah Pak Wija. Memastikan jika pria tua dan anaknya itu tidak akan mendekati sumur. Di jendela samping tempat Kamal melihat Pak Wija kemarin, keduanya mengintip dari balik celah kayu yang berongga.

Hanya ada Pak Wija.

Tidak ada Maot.

Kamal mencoba mengintip lebih jauh. "Yut, menurutmu apa kita harus ngunci Pak Wija di dalem rumah? Biar dia gak bisa keluar?"

"Pakai apa?" Yuta menoleh. Dia sepertinya tertarik dengan usul Kamal untuk mengunci Pak Wija hidup - hidup.

"Nggak tahu."

"Nggak tahu nggak usah ngomong!" Yuta mendesis kesal. Dia kemudian menyeret paksa lengan Kamal untuk mendekati sumur seraya mengeluarkan beberapa peralatan yang sudah disiapkannya kemarin malam. Pemuda itu menoleh. "Kita buruan masuk aja. Menurut saya, Pak Wija gak mungkin pergi ke sumur."

Kamal mengganguk. Mengambil tali di kantung jaketnya dan mengikatkan pada pinggangnya. Pemuda itu kemudian mengikat ujung tali satunya di atas sumur dan bersiap dengan guntingnya.

"Nggak usah terlalu rumit ikatannya. Yang penting kuat. Biar nanti kalau kita potong tali itu, bekas potongannya bisa jatuh ke bawah," pesan Yuta. Dia segera mengikat tali di pinggangnya dan naik ke bibir sumur.

Kamal mengikut di belakang usai memasangkan pisau kecil di ujung sepatunya. Usaha agar ketika mereka turun ke bawah, pisau itu akan menancap sedikit demi sedikit di dinding sumur. Mengikis lumut basah agar tidak tergelincir dan jatuh seperti kemarin.

"Lumutnya masih banyak banget, Yut." Kamal mencoba merosot dengan hati - hati. Sesekali dia melebarkan kakinya untuk menjaga keseimbangan tubuh dan membersihkan tangannya dari lumut basah yang menempel. Hijau dan licin. Menjijikan.

"Namanya juga sumur tua. Saya yakin dari awal pembuatan gak pernah dibersihin sama sekali." Yuta menjawab sumbang. Dia berusaha menahan nafasnya. Bau busuknya terasa lebih menyengat daripada malam kemarin.

Keduanya terus merosot turun dengan hati - hati. Menancapkan pisau pijakan dan menggerus lumut perlahan - lahan. Berusaha mempercepat langkah berbarengan dengan awan hitam yang berarak semakin pekat. Setidaknya mereka harus sampai di bawah sebelum rintik hujan mulai turun membasahi bumi.

"Buk!"

Sempurna. Yuta dan Kamal kemudian mendaratkan kaki di dasar dan langsung mengunting bekas tali yang mengikat tubuh mereka tadi. Menariknya hingga terlepas dan jatuh ke bawah agar tidak ada yang curiga ataupun berhasil menemukan mereka.

Desa Mati [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang