07 - Rindu

190 81 41
                                    

Alaney menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Di sampingnya sudah ada Liana yang sedang sibuk mencatat nama-nama temannya di atas buku tebal.

"Liat, deh! Temen Mama diajak arisan langsung gercep, dong!" ucap Liana dengan antusias.

Alaney mendongak melihat langit-langit. Mutup matanya rapat-rapat. "Laney cape, Ma," rengeknya.

"Capek kenapa sih, Sayang?" Liana masih fokus mencatat nama-nama temannya.

"Tadi Laney pulang naik angkot. Udah dulu ya, Ma. Laney mau tidur. Ngantuk!" Alaney berdiri dan melangkahkan kakinya dengan jalan sempoyongan menyeret ranselnya.

Sedang Liana yang tersentak mendengar ucapan putra semata wayangnya itu melirik dan mengerutkan dahinya. "Angkot? Laney kan nggak pernah suka naik angkot?" batin Liana.

"Kok tumben ...!" teriak Liana memanjangkan lehernya agar putranya tersebut semakin mendengar suaranya.

"Gapapaaa," balas Laney sebelum ia menutup pintu kamarnya.

。‿。‿。‿。

Seorang perempuan berjalan memasuki rumah besarnya dengan seorang lelaki satu tahun di atasnya. Ia menelusuri setiap ruangan di rumah itu guna mencari di mana sosok ibunya.

"Udah pada pergi nggak, sih, Kak?" tanyanya pada lelaki itu. "Ma?" panggilnya.

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah isak tangis samar-samar yang menembus telinganya. Merasa khawatir dengan ibunya, ia pun berlari menuju ke belakang.

Di sofa, sudah ada ibunya yang sedang tertunduk sembari menyeka air mata dengan tangan. Ia tak mau memperlihatkan kesedihannya pada anak perempuan yang periang itu.

"Ola, Byan, sudah pulang?" tanyanya dengan senyum palsu. Matanya sembab.

Ola berlari memeluk ibunya. Ia benar-benar merasa khawatir dengan keadaan ibunya. "Mama kenapa nangis? Ayo cerita ke Ola apa yang udah bikin Mama nangis begini?" Ola menyelipkan rambut ibunya yang menutup mata.

Tak ingin memberi tahu yang sebenarnya pada sang anak, Farah berusaha menghilangkan raut sedihnya. "Mama nggak apa-apa, kok, Sayang. Tadi Mama lagi nonton serial India kebawa suasana," kilahnya. "Kalian udah makan? Ayo makan dulu!"

Farah hendak berdiri namun, tangannya tercekal oleh tangan Ola. "Ma ...." lirih Ola. "Are you okay? Please, Ma. Tell me something. Nanti kita jemput papa loh, Ma. Yeay!" Ola menatap Farah dengan tatapan sendu bercampur gembira. Berharap Farah jujur dan semangat dengan keadaannya.

Farah menunduk. Sejenak menutup mata dan menarik napas. Siap tak siap ia harus siap mengatakan ini pada Ola.

"Sebenarnya papa selama seminggu ini nggak di luar kota,” ungkap Farah dengan hati yang masih nyeri.

Mata Ola membulat sempurna. Jadi, selama ini sang ayah telah membohongi mereka? Lantas apa penyebab yang membuat ayahnya berbohong?

“Tadi Mama sempat videocall Papa ....” Farah menggantung ucapannya sebentar sembari mencoba untuk tenang agar air matanya tak keluar lagi. “Tapi perempuan lain yang angkat. Kayaknya mereka berdua di apartemen—”

Stop, Ma!” potong Ola. Kakinya mendadak melemas mendengar penuturan Farah. Kepalanya pusing. Tak sanggup jika mendengar pernyataan dari mulut Farah lagi.

Byan yang melihat itu tertunduk. Menjadi tak tega melihat adik dari kakaknya dan sepupunya itu mengalami hal demikian. Bagaimana bisa pamannya sejahat itu?

Byan mengusap pundak Farah dengan pelan. Menyalurkan sedikit semangat agar keduanya tak larut dalam kesedihan. “Tante udah makan?” tanyanya. Farah menggeleng. “La, ajak Mama makan,” suruh Byan.

Raut wajah Ola berubah menjadi tak sedap. Ola mengangguk kemudian berdiri hendak menuntun ibunya menuju dapur. “Ayo, Ma. Mama harus makan dulu habis itu istirahat. Ola yang bakalan temenin Mama nanti, yuk.”

Farah berdiri. Bagaimanapun juga, ia tak boleh serapuh itu di depan Ola yang masih bisa kuat menghadapi nasib keluarganya itu.

。‿。‿。‿。

Zaza membanting tubuh bersamaan dengan ranselnya di atas kasur. Keadaan rumahnya benar-benar sepi. Tak ada keributan yang biasanya selalu ia dengar setiap pulang sekolah.

Drrtt ....

Zaza merasakan ada getaran dari ponselnya. Dengan malas ia mengambil ponsel yang ada di dalam ranselnya. Menekan tombol power serta melihat siapa si penelepon.

Kening Zaza berkerut setelah mengetahui ternyata ayahnya yang menelepon. Zaza meletakkan ponselnya tergeletak di samping kepala setelah menggeser tanda terima telepon tersebut.

“Assalamu'alaikum, Zaza. Halo, Nak? Kamu gimana kabarnya?”

“Baik,” balas Zaza singkat.

“Bunda gimana?”

Zaza tersenyum menyeringai. “Ngapain nanya bunda?”

Za ....”

“Kabar aku sama bunda baik. Jauh lebih baik. Kami tinggal di Rumah Sederhana Blok C nomor se—” Zaza tersadar dirinya sedang keceplosan. Harusnya ia merahasiakan tempat tinggalnya yang sekarang. “Duh, Za. Kok lo bodoh, sih?!” batinnya.

Nomor berapa?”

“Sepuluh.” Zaza menyerah. Toh, ayahnya tak akan macam-macam lagi mengingat mereka tak ada hubungan apa-apa lagi. Ibunya pun juga tak akan tahu.

Ayah otw ke sana sekarang. Ayah rindu kamu.

“Hm.”

。‿。‿。‿。

ALANEYWhere stories live. Discover now