#153 Life

9 2 0
                                    

Tengah malam lewat, tepat saat aku hampir sampai taman dekat kamar sewaku. Sekelebat kulihat bayangan. Aku segera mengikuti arah ke mana bayangan tadi pergi.

Di balik rumah besar di ujung kompleks, aku melihatnya. Seorang laki-laki muda sudah tergeletak di tanah. Sementara Win sudah menggenggam sosok makhluk hitam itu dalam tangan kanannya.

Saat dia menghempasnya ke tanah, aku mendekati dan menyapanya. "Hai, Win."

Dia terkejut. Lalu menatapku tajam seolah tidak suka akan kehadiranku di sana. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Aku mencarimu ke mana-mana tadi. Tapi tidak ketemu. Sekarang ketika aku mau pulang, malah tiba-tiba kamu muncul. Berarti aku sedang beruntung kali ini."

"Beruntung apanya? Bukan beruntung kalau kamu kena masalah di sini." Nadanya terdengar ketus.

"Kan kamu sudah janji mau menjawab pertanyaanku."

Win menghela napas. Ekspresinya terlihat antara jengkel dan juga merasa terganggu. Lalu dia melangkah pergi.

"Hei?" Aku melongo melihatnya pergi begitu saja.

Tak jauh, di tempat yang lebih terlindung, dia berhenti. Aku langsung menyusulnya. Berdiri di dekatnya. Dia melirik ke arahku namun tidak kupedulikan.

"Sekarang apa lagi?" tanyanya datar.

"Melanjutkan pertanyaanku," jawabku cuek. Kutahan rasa maluku karena banyak bertanya pada orang yang baru kukenal. Hanya demi mendapat jawaban atas segala hal yang terjadi di sekitarku.

Win membisu. Dia hanya memandang ke arah laki-laki muda yang pingsan tadi.

"Black Imo itu ... sebenarnya apa yang dilakukannya di sana, menempel pada punggung orang-orang itu? Kalau memang orang tidak bisa melihatnya seperti katamu, apa orang yang ditempelinya juga tidak merasakan kehadiran mereka?"

Laki-laki muda itu telah sadar. Dengan cekatan, dia berdiri. Menoleh ke sekelilingnya dengan pandangan heran. Lantas bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Ekspresi Win terlihat lebih lega. Lalu dialihkan pandangannya dari laki-laki tadi ke arahku. "Tidak ada orang yang bisa melihat Imo. Juga merasakan kehadiran mereka." Ucapannya seperti belum selesai. Namun dia malah membisu. Tatapannya berubah.

Aku mengenali tatapan itu. Tapi aku tidak menyadari siapa pemilik tatapan itu. Begitu kukenal dan terasa dekat.

Hening.

"Apa ada pengecualian? Kamu bisa melihatnya. Bahkan memusnahkannya. Aku juga bisa melihat mereka. Bahkan aura aneh saat berada di dekat mereka, aku bisa merasakannya." Aku kembali melancarkan aksiku demi membelah keheningan.

Win sedikit tersentak. Kurasa dia terlalu terpesona menatapku.

Aku masih menanti jawabannya.

"Ya, aku adalah pengecualian. Aku terpilih oleh Langit untuk memusnahkan mereka." Ucapannya terdengar sangat serius.

"Langit? Terpilih?" Aku kebingungan.

Win mengangguk.

"Bagaimana denganku? Seperti apa proses pemilihannya?"

"Kami langsung ditunjuk oleh Langit dan diutus turun ke sini. Kami para pasukan khusus Langit memang dilatih sebagai pemusnah makhluk dunia lain."

"Dunia lain? Langit? Ada berapa dunia memangnya?" tanyaku penasaran.

"Dunia ini. Dunia itu. Dunia selain ini dan itu."

"Hei! Aku serius." Kupukul lengan atasnya.

"Kamu bawel. Terlalu bawel! Pertanyaan dua, baru jawab satu, sudah tanya dua lagi. Bagaimana bisa terjawab semua. Sudahlah, aku pulang saja." Win berbalik arah.

"Hei, tunggu dulu!" Kutarik lengan bajunya. "Aku belum selesai."

"Anggap saja sudah selesai. Ini sudah hampir pagi. Aku harus pulang." Dilepasnya pegangan tanganku dari bajunya. "Kamu juga pulanglah. Tidak baik di luar rumah di waktu seperti ini."

Aku terdiam.

"Besok saja jika ingin dilanjut pertanyaannya. Itu pun kalau aku mau jawab." Win melenggang pergi.

"Baiklah," gumamku penuh rasa kecewa. Alih-alih berkurang, pertanyaan di kepalaku justru semakin banyak.

Aku berbalik hendak menuju kamar sewaku. Baru beberapa langkah saja, seseorang sudah menyerangku. Dia menahanku erat dengan satu tangan dan satu tangan lagi membungkam mulutku.

"Jangan katakan satu hal pun yang kamu dengar malam ini kepada siapa saja. Bahkan pada orang terdekatmu," ancamnya.

"Mph mmph." Aku menganggukkan kepala seraya berusaha untuk menjawab namun sia-sia. Suaraku tertahan.

"Bagus," katanya. Lalu cengkeramannya dilepas.

Secepatnya aku berbalik seraya menggumam, "Win?"

Tidak ada siapa-siapa di dekatku. Aku yakin tadi suara Win. Namun yang kulihat, Win masih tetap berjalan dengan santai menembus gelap di kejauhan.

"Secepat itu dia bergerak? Hm? Rasanya tidak mungkin," gumamku. Kemudian kembali melangkah menuju ke kamarku.

**

365 : Unknown LifeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt