Epilog

8.1K 427 75
                                    

Pijar oranye menerpa permukaan wajah Regan yang tengah menatap kosong pada gumpalan awan berarak. Aroma tanah basah yang beberapa saat lalu ia sirami dengan air, menyeruak masuk dalam indra penciumannya.

Kemeja hitam kusut yang ia kenakan tak lagi bersih sebab terdapat bercak tanah kering yang menodainya. Sedang jejak cairan bening mulai mengering di pipi lelaki tanpa daya tersebut.

Sekali lagi, Regan memandang nanar gumpalan tanah di hadapannya. Dan saat itu juga, jantungnya bagai disayat hebat. Seolah hancur dalam satu remasan kuat. Telah habis seluruh kekuatan Regan untuk melawan berbagai penyangkalan yang tertanam di otaknya. Bersamaan dengan hal itu pula, Regan pun menyadari bahwa kini, dunianya porak-poranda.

Dengan netra yang lagi-lagi mulai mengalirkan air mata, ia membaca lirih nama pada papan putih bertinta hitam yang tampak masih baru di hadapannya. Hurup demi hurup terlontar berat dari birainya yang mengering.

Revia Aritama

Nama dari sang kekasih halalnya tertera pada papan tersebut. Kepala Regan jatuh tertunduk lemah, ia larut dalam sedu sedan. Tak peduli bahwa dia adalah satu-satunya manusia yang masih bertahan di area pemakaman sejak tiga jam yang lalu. Ia terpaksa ditinggalkan setelah menolak untuk diajak kembali ke rumah duka.

Ingin rasanya Regan meraung, memaki pada takdir yang membuat hidupnya jugkir balik dalam waktu singkat, tapi Regan tidak memiliki sedikit pun kekuatan sejak di detik pertama ia menerima kabar bahwa wanita yang ia nikahi satu tahun lalu, meregang nyawa setelah mobilnya terlindas truk.

Revia Aritama

Wanita yang ia cintai, istri terkasihnya, serta calon Ibu dari anak-anaknya kelak, kehilangan nyawa dengan kondisi tragis. Cangkang kepala remuk serta tubuhnya bagai tercincang.

Tubuh Regan bergetar hebat menahan amarah yang menguasainya. Dia harus bagaimana sekarang?

"Aku harus gimana, Revia? Kamu sendiri yang berjanji nggak akan ninggalin aku, tapi mengapa kamu mengingkarinya? Apa aku tidak cukup pantas untuk melindungimu hingga kau memilih pergi dengan cara tragis seperti ini?"

Rahang Regan mengetat dan ikut memunculkan tonjolan urat di sepanjang garis lehernya. Giginya menggemeletuk menahan ledakan emosi yang siap ia lepaskan.

"Revia ...." lirih Regan begitu menyayat hati. "Kumohon kembalilah. Jangan siksa aku dengan cara seperti ini, Sayang. Kamu tahu aku pria gila dan hanya kamu yang dapat menangani manusia seperti diriku. Revia ... aku takut, aku tidak akan pernah sanggup menghadapi hari esok jika kau pergi. Siapa yang akan membelai kepalaku jika pikiranku kacau? Siapa lagi yang akan menemaniku melewati dunia kejam ini?"

"Aku tahu, ini semua terjadi karena kamu marah sebab kita kehilangan putri kita. Andai aku bisa menentang takdir, aku akan memastikan dia tumbuh sehat dalam perutmu, tapi aku hanya manusia biasa, Sayang. Aku pun tak terima kita kehilangan dirinya secepat ini. Dan sekarang, kau pun ikut pergi dari hidupku."

Sakit tak tertahankan tiba-tiba menyerang kepala Regan. Hanya saja, dia sama sekali tidak peduli. Pikirannya lagi-lagi terlempar pada momen di mana dia dan Revia kehilangan bayi mereka yang sudah berusia lima bulan di perut istrinya.

Sejak saat itu Revia mengalami depresi berat, ia menjadi linglung dan terus menyalahkan diri. Revia berpikir karena kecerobohannyalah dia dan Regan kehilangan calon anak mereka. Tidak peduli Regan berulang kali menjelaskan bahwa kepergian janin mereka bukan salah Revia, tetapi wanita itu enggan menerimanya. Ia bagaikan tuli dan terus menyiksa diri.

Miss Copywriter (✓)Место, где живут истории. Откройте их для себя