15. MENCARI FABIAN

Start from the beginning
                                    

"Ah, benar, kita harus segera menemukan bocah nakal itu sebelum dia membuat masalah!" Plan tiba-tiba diam. Mereka tak punya petunjuk apapun mengenai keberadaan Fabian. "Tapi kita tak memiliki petunjuk lagi. Seharian kita sudah keliling menanyakan keberadaan bocah itu pada teman-temannya ... tapi tak satupun dari mereka yang tahu."

Plan frustasi dengan kelakuan adiknya. Jangan lagi, jangan sampai Fabian membuat ulah seperti beberapa bulan yang lalu saat ia mempermalukan ayah mereka di depan umum dengan mengumbar semua tindakan Joe pada anak-anaknya. Tepat di hadapan ayah mereka dan mengakibatkan pemuda itu diusir dari rumah.

"Petunjuk kita tinggal satu, Plan ... April!" Mean mengeluarkan Android dari saku celana lalu mendial nomor editornya yang beberapa bulan terakhir begitu kacau.

Di tempat April, beberapa jam sebelum panggilan masuk dari Mean. April disibukkan dengan semua urusan pekerjaannya. Wanita 32 tahun itu sama sekali tak memperhatikan penampilannya, ia kacau.

Ia tak menampik perasaannya pada Fabian yang mulai tumbuh subur. Tapi ia terjepit di antara dua pilihan, Fabian atau adik-adiknya di panti. Lima puluh delapan adiknya akan terlantar bila ia tak melepaskan Fabian dan memilih egonya. Ironis kala ia harus galau di umurnya yang sekarang. Kenapa ia masih bimbang hanya karena seorang remaja?

Di tengah kesibukannya, April sempat terkejut saat HP-nya berdering. Ia melihat nama yang tertera di layar benda pipih itu lalu mengernyitkan alisnya. Tak biasanya orang itu menghubunginya. Ada apa?

"Halo, Bu? Ada apa kok tumben menelpon di jam seperti ini?" Ya, bu panti yang menghubungi April saat ini.

"Pril ... Nak, datanglah ke panti!" Suara Narti—ibu panti—bergetar. "Kita dalam masalah, Nak!" Apalagi sekarang?

April memunguti tas dan jaketnya, bergegas menuju panti. "April segera ke sana, Bu!" Wanita itu berlari, menghiraukan atasan maupun rekan kerjanya yang bertanya-tanya pada wanita itu kenapa begitu panik.

Di dalam taksi, April tak henti-hentinya gelisah. Apa yang sebenarnya terjadi di panti sehingga ibu panti bergetar seperti akan menangis?

Tak berapa lama taksi yang ditumpangi April sampai di depan panti. Tapi kenapa ramai sekali di sana?

Terlihat ekskavator terparkir di pekarangan panti dan alat berat lain siap untuk merobohkan suatu bangunan. April berlari dengan panik melewati beberapa pekerja konstruksi yang siap melakukan tugas mereka. April mencari-cari keberadaan ibu panti.

Di sana ibu panti bersimpuh memeluk anak-anak panti yang menangis. Wajah wanita paruh baya itu telah basah oleh air mata, menangis tak berdaya di bawah tatapan lelaki dengan setelan jas marun, tampak sombong dengan mengangkat dagu berusaha menunjukkan kuasanya.

"Ibu, apa yang terjadi?" April berhambur memeluk wanita yang telah membesarkannya. Mengelus kepala adik-adiknya yang sudah berurai air mata.

"Ibu ... ibu juga tak tahu, Nak. Tiba-tiba mereka datang dan ... dan mengusir kita." Narti sesenggukan di sela kalimatnya. April mendongakkan wajahnya, wanita itu memejamkan matanya erat mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Kepalanya berdenyut, sakit.

"Saya sudah peringatkan kamu untuk menjauhi Fabian!" Kalimat itu membuat April menoleh pada pria berjas marun penuh tanya, ia tak mengerti maksud dari kalimat itu. Sudah 2 bulan wanita itu tak melihat batang hidung Fabian, lalu kenapa Joe menuduhnya?

"Tapi ... tapi saya tidak pernah menemui Fabian lagi, Tuan ..." ucap wanita itu sedikit ragu.

"Apanya yang tidak menemui?! Setiap hari Fabian datang ke panti ini dan dia kerap sekali terlihat di mana pun kamu berada!" Joe tampak murka dengan kenyataan itu. Ia seperti ditipu sekarang.

Our Love (END)Where stories live. Discover now