15. MENCARI FABIAN

169 21 17
                                    

"Tapi aku juga tak ingin melihatmu menderita seperti itu, Plan. Kamu tak harus berkorban untukku. Aku ingin kamu hidup bahagia selamanya, Plan."

Siapa yang tak akan terbawa perasaan kalau ada yang bilang seperti itu padamu? Hati Plan berbunga-bunga, rona merah menghiasi pipi gembulnya. Memiliki orang yang menerima dia apa adanya. Menyayanginya tanpa mempermasalahkan siapa dirinya.

Plan merasa lengkap bila saja saat ini tak ada orang yang mengekori ke mana-mana hanya untuk mengganggu hubungannya dengan Mean. Ya, saat ini Mean dan Plan sedang berkeliling mencari Fabian seperti rencana mereka tadi pagi. Siapa sangka kalau Natasya keukeuh ingin ikut dengan mereka. Dia mengganggu saja.

"Ck, kenapa juga kamu mengikuti kami?" Plan mulai kesal karena keberadaan Natasya. Plan masih kesal karena gara-gara gadis itu, Mean hampir saja memutuskannya. Dia masih saja suka mengganggu orang lain seperti saat mereka masih kecil dulu.

"Loh, memangnya kenapa? Aku 'kan mengikuti calon suamiku," ucap Natasya yang menggulirkan matanya pada Mean yang terlihat ingin membunuh seseorang.

"Sudahlah, hentikan sandiwaramu itu, Nata! Membuatku muak saja." Tentu saja Plan tahu kalau Natasya tak sungguh-sungguh ingin dijodohkan dengannya. Plan cukup mengenal sifat gadis itu.

"Loh, aku nggak bersandiwara Plan." Natasya masih setenang air dalam wadah. Gadis itu memang tak bohong mengenai mengikuti calon suaminya. "Tapi calon suamiku bukan kamu." Kalimat ambigu Natasya membuat Plan mengernyitkan dahinya. Sedangkan Mean masih mengawasi percakapan mereka yang berjalan di depannya. Ia melihat Natasya menoleh padanya dengan pandangan penuh arti. Tentu saja Mean tak peduli.

"Hah, siapa maksudmu? Kamu dijodohkan denganku." Plan bukannya marah atau tak suka Natasya yang tak menganggapnya calon suami, tapi Plan tak ingin gadis itu mempermainkannya lagi.

"Aw, jangan terlihat kecewa seperti itu Plan. Lagi pula aku tak ingin menjadi istrimu, aku muak dengan wajahmu itu asal kau tahu." Natasya menatap jijik pada Plan. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini?

"Apa-apaan kau berkata seperti itu pada kekasihku?!" Mean yang sejak tadi hanya mengamati kini ia tersulut dan menarik bahu Natasya dengan kasar, membuat gadis itu langsung berbalik ke belakang menghadap pada Mean.

"Memangnya kenapa? Aku benci padanya." Natasya menepis tangan Mean yang berada di pundaknya lalu menunjuk pada Plan, menatap tajam pada pemuda itu. "Wajahnya lebih cantik dariku! Itu membuatku muak!"

"Aw, alasan macam apa itu?" Plan semakin mengerutkan alisnya, tak bisa mencerna kalimat Natasya.

"Ya, sejak dulu aku membencimu, Plan! Karena wajahmu lebih cantik dariku!" geraman Natasya membuat Mean dan Plan memusatkan perhatian pada wajah marah gadis itu.

"Aku tak cantik! Asal kamu tahu, aku itu tampan!" Tanduk imajiner muncul di kedua sisi kepala Plan. Tampak sekali dia tak suka gadis itu menyebutnya cantik.

"Pfftt." Itu bukan Natasya. Mean menahan tawanya saat melihat kekasihnya murka karena tak suka disebut cantik. "Akui saja kalau kamu itu memang cantik, Sayang," kata Mean pada akhirnya. Ia tak bohong, di matanya Plan itu yang paling cantik.

"Mean!" pekik Plan pada kekasihnya. Ia mengejar Mean yang sudah lari terbirit-birit setelah menggoda Plan. Bukankah mereka melupakan sesuatu?

"Aw, aw, ampun Plan. Tolong lepasin ...!" ringis Mean yang kesakitan karena telinganya ditarik oleh Plan.

"Nggak ... nggak ada ampun!" Plan masih saja tak mau melepaskan Mean. Tidak semudah itu setelah Mean menyentil harga dirinya sebagai lelaki.

"Aw, bukankah kamu lupa sesuatu?" Plan tampak berpikir atas pertanyaan Mean yang meringis kesakitan. Plan hanya menggelengkan kepalanya tak tahu. "Kita harus mencari Fabian, kamu ingat?" Kalimat itu membuat Plan melepaskan tangannya dari Mean.

Our Love (END)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum