"Kamu kok gampang banget sih bikin orang nyaman?"
Karena kamu terlalu mudah untuk dikagumi.
Ini tentang seseorang yang begitu diistimewakan di awal dan tergantikan di akhir. Yang ingin menjadi satu-satunya, bukan satu di antaranya.
"I never knew how strong i was until i had to forgive someone who wasn't sorry, and accept an apology i never received." -Unknown
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sesaat setelah suara ketikkan dari keyboard laptop yang kini terbuka, terdengar helaan nafas berat. Diiringi kepala yang akhirnya terjatuh dengan bantalan satu tangan di samping laptop. Mata yang terpejam perlahan nyatanya menjadi usaha untuk mendorong butiran bening itu mengalir.
Ia menangis. Lagi. Untuk ke sekian kali.
"Kamu bosan ya sama aku?" Tanyanya lirih ketika sebaris percakapan yang dibacanya tadi muncul begitu saja di benaknya.
"Engga. Kenapa tanya gitu?"
Sejenak pandangannya meredup memandangi punggung lebar di depannya. Ia tak pernah merasa setakut ini. Dan entah kenapa, meskipun punggung itu tepat di depannya, dalam jarak yang begitu mudah untuk ia sentuh dan rengkuh, nyatanya ia merasa punggung itu semakin jauh.
Ah, kenapa ia harus mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi?
-dan ia sama sekali tak ingin hal itu terjadi, Demi Tuhan.
"Kalau kamu bosen sama aku, bilang ya. Jangan cari nyaman yang lain."
'Karena aku ada untuk kamu, aku di sini. Kamu tak perlu mencarinya kemana pun, karena aku di sini untukmu.'
Tak ada jawaban. Hening serasa membunuh perlahan. Di sepanjang perjalanan itu ia mungkin terlalu sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya ketakutan sendiri seperti saat ini. Ia overthinking, ia mengerti benar hal itu. Bukankah itu berarti ia tak lagi percaya?
Atau... ia yang terlalu percaya?
Usapan lembut di tangannya yang melingkar di perut cowok itu perlahan membuatnya mengerjap. Ah, ia terlalu menikmati keheningan dengan potret jalanan senja yang masih mengizinkan ia melihat bukit-bukit indah di kanan-kiri perjalanan.
Ia menunggu, namun tak ada ucapan apapun. Hanya usapan lembut itu, namun sanggup membuat gelisah dan tenang itu berbaur membentuk rasa yang tak dapat ia jelaskan. Hanya saja...
Hanya saja ia harus menjelaskan pada hatinya lagi, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka bersama.
Bersama.
Dan perlahan mata itu terbuka. Mengakhiri percakapan memuakkan yang sampai saat ini membuatnya terluka. Jemari kurusnya yang semula terkulai di samping tubuhnya perlahan terangkat. Membelakangi lampu belajar di samping laptopnya sehingga membentuk bayangan dua jarinya yang ia bayangkan sebagai sepasang kaki yang tengah berjalan. Digerakkannya perlahan,
Tuk.. tuk.. tuk.
Bukankah kata itu tepat ia ucapkan dua bulan yang lalu? Tapi mengapa seperti spoiler masa kini yang seolah sudah terbaca?
Dan kini kamu, meninggalkanku tanpa satu pun alasan yang bahkan tak bisa kujadikan alasan untuk pergi. Kamu menahan dan menggantungku dalam keadaan yang menyedihkan.