2. Danindra Wijaya

70K 5.4K 71
                                    

Pagi ini aku sedang menikmati sarapan dengan keluargaku. Sudah lama aku tak menikmati kegiatan seperti ini karena selama ini aku berada di Jepang dan baru kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu.

"Danin, nanti kamu berangkatnya bareng papa aja." Perkataan papa membuatku menoleh ke arahnya.

"Kayanya aku bawa mobil sendiri aja, Pa," sahutku. "Aku mau langsung ke apartemen soalnya. Barang-barangku juga masih banyak yang di sana."

Setelah mengatakan itu aku kembali menyuapkan makanan ke mulutku.

"Kamu beneran mau langsung tinggal di apartemen? Mama masih kangen tau." Mamaku memprotes dengan nada sendu disela kegiatannya menuangkan susu untuk adikku ---Naina.

"Iya... Kak Danin juga belum nganterin Naina ke sekolah. Naina kan mau pamer ke temen-temen kalau Naina punya kakak ganteng," celetuk adikku dengan mulut penuh makanan. Mama langsung menegur adikku yang berbicara saat menguyah makanan itu.

Ini adekku makan apa, sih? Ya kali kakaknya mau dipamerin, emangnya benda antik apa.

"Naina sayang... kapan-kapan ya kakak anterin ke sekolahnya." Aku mengelus kepala bocah yang duduk di sampingku itu. "Kalau nggak kapan-kapan Kakak jemput aja terus kita makan es krim, gimana?" bujukku dengan sabar pada gadis berusia tujuh tahun itu.

Kalian terkejut?

Adikku baru berusia tujuh tahun dan usia kami berselisih delapan belas tahun karena sekarang aku berusia dua puluh lima tahun.

Ketika usiaku delapan belas tahun, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikanku di Jepang. Baru tiga minggu di Jepang, Mama menelfon dan mengatakan jika dirinya sedang hamil. Antara sadar dan nggak sadar waktu itu. Sulit membedakan apakah ini mimpi atau bukan karena tadinya aku kira aku akan menjadi anak tunggal. Tapi nyatanya sesosok anak perempuan kecil---Naina Katarine Wijaya---ada didepanku sekarang. Tokcer juga papa.

"Janji ya, Kak Danin?" katanya yang kini mengacungkan jari kelingkingnya padaku. Aku pun menautkan jariku pada jarinya, tanda mengiyakan apa yang dia minta.

"Iya, Sayang," ujarku setelahnya ku kecup kepalanya yang hari ini dikuncir dua.

***

Hari pertama bekerja dan kesanku sudah jelek banget dimata karyawan. Mau gimana lagi, aku memang paling tidak suka dengan orang yang tidak disiplin. Mungkin aku sudah terbiasa dengan budaya Jepang yang memiliki tingkat kedisiplinan tinggi karena sudah lama tinggal di negara matahari terbit itu. Walaupun sebenernya sikapku juga tidak bisa dibilang professional---walk out meninggalkan briefing. Toh nasi sudah menjadi bubur, nggak bisa jadi nasi lagi.

Aku mulai bercengkrama dengan dokumen-dokumen perusahaan. Kupelajari produk-produknya. Bagaimana penjualan perusahaan dan tingkat NG---not good---barangnya sampai kudengar seseorang mengetuk pintu ruanganku.

"Masuk," perintahku setelah menekan tombol di sudut kanan mejaku. Itu tombol untuk membuka kunci pintu.

Seorang lelaki yang kutaksir berusia petengahan empat puluhan masuk dan menyapaku.

"Selamat siang, Pak Danin. Perkenalkan saya Catur, Production Leader Plant 2, Pak."

Dia mengulurkan tangannya dan aku menjabatnya. Agak tidak nyaman sebetulnya saat orang yang lebih tua dariku memanggilku dengan sapaan Bapak.

"Pak Hadi menugaskan saya untuk mengajak Bapak ke Plant dan melihat produksi secara langsung," katanya menyampaikan tujuannya datang ke ruanganku. "Kira-kira kita bisa pergi kapan ya, Pak?" tanyanya sopan.

Aku sempat melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku.

"Sekarang bisa, Pak," jawabku kemudian aku membereskan kertas-kertas di mejaku sebelum mengikuti Pak Catur menuju gedung produksi.

Kami pun mulai berjalan mengelilingi pabrik. Jadi perusahaanku itu menyatu dengan pabrik tempat produksi. Area depan sebagai kantor dan area belakang tempat kegiatan produksi. Karena letaknya yang memang berada di kawasan industri.

Pak Catur menerangkan bagaimana produksi di perusahaan ini. Aku pun mengamatinya dengan serius. Aku bahkan sudah mampu melihat beberapa problem di sini.

Setelah selesai dengan divisi Plant 2 yang menangani produk eletronik. Aku lalu dikenalkan dengan Pak Joko, production leader dari Plant 1 yang menangani produk otomotif.

"Maafkan kelakuan anak buah saya, Pak. Saya sudah memberikan surat peringatan satu, dan dia juga sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi," terang Pak Joko sebelum dia mengajakku untuk berkeliling.

Langkah yang dia ambil cukup tegas. Dan aku menyukainya.

"Saya harap juga begitu, Pak, karena saya paling tidak suka dengan orang yang tidak disiplin." Pak Joko menganggukan kepalanya tanda mengerti. Kemudian kami melanjutkan kegiatan berkeliling pabrik dengan Pak Joko sebagai pemandunya.

***

Ternyata benar kata orang, teori dengan praktek itu tidak selalu sama. Aku menemukan beberapa masalah pada tim produksi tapi setelah aku coba masukan ilmu teori yang aku pelajari justru menimbulkan masalah baru.

"Ini mesin kita untuk produk baru yang diminta PT Wija Trast," ujar Pak joko menunjuk mesin yang ada di depan kami.

Aku mengamati mesin itu kemudian menyipitkan mataku. "Bukannya ini 30 ton, Pak? Apa tidak masalah untuk produk otomotif?" tanyaku sedikit ragu karena biasanya mesin tipe ini digunakan untuk produk elektronik.

"Sebenarnya ini masih dalam tahap Trial, Pak. Kami juga sudah membentuk tim khusus untuk proyek ini."

Aku mengangguk mengerti.

"Kalau gitu saya mau orang yang Bapak tunjuk segera menemui saya dan jangan lupa bawa mold history untuk robot ini beserta problem checksheet-nya."

"Baik, Pak. Setelah jam makan siang orang produksi akan segera ke ruangan bapak, tapi..." Pak Joko memelankan suaranya.

"Any problem?" tanyaku saat melihat ekspresi wajah Pak Joko.

"Orang yang saya tunjuk adalah orang yang tadi pagi datang terlambat dan tidak menyimak saat briefing," ujar Pak Joko pelan. "Saya harap Bapak tidak masalah dengan itu."

"Bagus kalau dia orangnya. Jika saya melihat dia melakukan kesalahan lagi saya tidak segan untuk memberikan dia SP 3," ucapku dengan nada mengancam.

Ini bagus karena karyawan tadi yang akan menangani proyek ini, jika ada satu kesalahan saja aku akan langsung memecatnya.

"Setelah jam makan siang, di ruangan saya. Saya harap kali ini dia tidak terlambat."

Aku melangkahkan kaki menuju ruanganku setelah Pak Joko mengangguk mengerti keinginanku.

Kuhentikan langkah kakiku saat merasakan ponsel yang ada di saku celanaku bergetar. Segera kuambil ponselku itu dan kulihat ada notifikasi di sana.

Gea
Pulang ke Indo nggak bilang-bilang😡
Pokoknya gue nggak mau tau, jam 7 di Choco Lava, gue tunggu!
Mise you so bad, Dan!
See you

Aku membaca sekilas pesan whatsapp dari Gea lalu kukembalikan lagi ponselku ke saku celana tanpa ada niatan untuk membalas pesann darinya.

***




Remember Why You Started✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang