Part 10 (Disiksa lagi)

Start from the beginning
                                    

"Ehem, sudah kita sekarang fokus pada obrolan serius."

Hening.

Hafsah kini pada posisi semula walau berusaha paksa harus fokus daripada terulang bahan Bullyan oleh sang suami.

"Berapa bulan anak kita dikandunganmu?"

"Memasuki enam minggu, Mas."

"Oke. Besok kita ke rumah Papah, beliau ingin kita menginap sebulan di rumahnya. Pagi kita berangkat maka bersiaplah. Ingat jangan sampai kelelahan. Anakku wajib sehat. Paham?"

"Iya, Mas." Disertai anggukan.

"Bagus, kalau gitu sekarang tidur dan dilarang larut malam. Habis ini aku ke kantor dulu, mengambil berkas untuk ke kantor cabang. Ingat, jangan lupa pesanku barusan."

"Baik, Mas."

"Dan sekarang aku pergi dulu, jangan kemana-mana sampai aku pulang." Oceh Fathur mirip emak-emak memperingati seorang ibu hamil. Dia beranjak dari tempat duduk, meraih kunci mobil lalu berjalan ke arah pintu. Dan menguncinya dari luar.

*Flash back off*

Hafsah beranjak dari kasur setelah puas dari bayangan bahagia tidak terhingga yang terjadi saat makan malam tadi.

Dia menuju ke kamar mandi untuk bersihkan diri, ganti baju piyama, gosok gigi dan berwudhu. Aktifitas sebuah rutin yang setiap hari dilakukan sebelum tidur.

*Esokan hari*

Pukul dua siang Hafsah sedang menunggu seseorang di atas sofa ruang tamu. Dia lapar. Sudah berkali-kali menahan lapar dengan minum air putih.

Miris bukan?

Dia tidak tahu ternyata Fathur menipu dirinya. Pantas Fathur bersikap baik semalam, ternyata itu taktik awal Fathur ingin menghukum Hafsah. Buktinya, bahan makanan di kulkas habis, sisa makanan tadi malam sedikit sudah tandas untuk sarapan pagi. Bahkan, Hafsah tidak memiliki ponsel untuk mengabari siapapun orang agar dibuka pintu apartemennya.

Maklum ibu hamil rasa minat asupan makan bertambah akan tetapi yang dilakukan Fathur kejam. Dengan kondisi Hafsah kelaparan dan terkunci seorang diri. Setan sendiri meskipun kejam dia tetap tidak ganggu orang yang tidak memulainya.

"Ya Allah ... Kemana pergi mas Fathur? Aku lapar ...." Rengek Hafsah buliran air matanya tidak berhenti sejak habis sholat Dzuhur.

Setengah jam berlarut dalam kesedihan, saking lelahnya Hafsah tertidur pulas. Dan Qodarullah saat itu juga pintu ada yang mengetuk.

Tok, tok, tok

"Assalaamualaikum ... Kak Hafsah ...."

Tok, tok, tok.

Hening. Tiada sahutan dari dalam apartemen Fathur.

Segera saja adik Fathur bernama Malika ke ruang resepsionis untuk bertanya.

"Mba, nomor ruang 280 apakah tidak ada orang, kah?"

"Tunggu sebentar ya, Nyonya. Biar saya cek dulu."
Dilihatnya wanita bagian resepsionis itu ke buku catatan dan cctv.

"Ada orangnya, Nyonya. Semalam Tuan Fathur pergi tapi Nyonya Hafsah tidak ikut bersamanya."

'Astaga! Jangan-jangan kakak iparku disiksa lagi. Mas Fathur benar-benar tidak sadar juga dari hukuman Papah. Lihat saja nanti akan kutuntut kau Mas Fathur sampai tamat riwayatmu.' omel Dik Malika berperang dalam batin sendiri.

Kepeduliannya terhadap Hafsah sangat murni tanpa iming-iming atau pasang topeng karena dia sendiri senang kakak iparnya terbaik dari banyak wanita di dunia ini. Dia akan tetap membela sang kakak ipar dan benci kekejaman kakak kandung sendiri. Ya, dia wanita makanya ikut sensitif bila urusan wanita tersakiti.

DiaGay?On viuen les histories. Descobreix ara