Episode 07

6K 368 51
                                    

13 Tahun Lalu

Praaangggg.

Arman, remaja tanggung itu ketakutan di pojok gudang. Ia berusaha menahan suara nafasnya agar tak terdengar. Seseorang sedang memburunya. Seseorang yang harusnya mencintainya sepenuh jiwa dan raga.

"Armaaan, hehehe, sini nak sayang." Lengking suara itu diiringi langkah kaki, suaranya amat menyayat.

Praaaanggggg.

Sebuah benda lainnya dilempar lagi ke dinding. Memberikan efek ketakutan makin mendalam bagi Arman.

Beberapa menit yang lalu, baru saja Arman menyaksikan ibunya menyayat leher dua adiknya. Kini dua adiknya itu sudah bersimbah darah di lantai tak bernyawa.

"Lihat tuh, adik-adik kamu sudah senyum, sudah wangi. Yuk, kamu ikut juga, berangkat kita."

Seekor tikus melintas di dekat Arman. Tikus itu kembali dan kini seperti menatap Arman. Arman pun menggerak-gerakkan tipis kakinya agar tikus itu pergi. Ia makin ketakutan, suara pisau yang menyayat dinding makin dekat dan makin dekat.

Tikus itu juga terus mendekat, kini ujung mulutnya menyentuh kaki jempol Arman. Tak sampai satu detik, tikus itu langsung pergi dan berbelok ke kiri. Dari bunyi kabur yang dihasilkan tikus itu, sang ibu yang sedang memburu Arman pun teralihkan.

"Ke mana kamu mau pergi nak?" Bengis sang ibu yang kini mengejar tikus, yang ia kira Arman.

Tepat saat itu juga, Arman berlari ke kanan, ke arah berlawanan. Menerobos dinding gudang, dan lari secepat kilat dengan ketakutan yang amat dahsyat. Jika hari itu adalah hari ketakutan sedunia, maka setengah ketakutan di seluruh dunia, dimiliki oleh Arman.

Ia pergi, meninggalkan dua adiknya yang sudah tak bernyawa. Meninggalkan ibunya yang seperti hilang jiwa raganya entah oleh apa.

***

Hari ini.

Arman turun di sebuah stasiun tua. Ia bergegas menuju pintu keluar. Di sana, beberapa mobil bak terbuka memanggil-manggil calon penumpang. Arman naik salah satunya yang hampir penuh. Di kaca depan mobil itu tertulis Desa Salaempat via RSJ Oneang. Ke sanalah Arman hendak pergi, RSJ Oneang.

Selama perjalanan, ingatan Arman kembali ke sore itu. Saat dua adiknya dibantai oleh ibu mereka sendiri.

"Ayah kalian memilih menikah lagi, tak pernah cukup baginya ibu dan kalian. Kalau begini, kita pergi saja untuk selama-lamanya, tak ada harga diri jika begini." Dendang lagu ibunya yang biasanya riang, siang itu jadi muram.

Semua pintu dan jendela akhirnya ditutup ibu.

"Ibu kita mau apa?" Tanya Arman.

"Kita mau pergi ke surga nak. Mandi dulu, habis itu ganti baju."

Betul saja, selepas dua adiknya mandi, bukan malah dipasangkan handuk, leher mereka malah ditebas oleh Sang Ibu. Ia melengking marah, sedih bercampur kecewa.

Saat tahu Arman kabur dan tak berhasil ia bunuh, sang ibu ingin membantai dirinya sendiri. Namun itu digagakan beberapa warga yang datang tepat waktu, saat pisau itu berada di depa leher Sri Kinansih, ibu Arman. Pisau itu sempat menggorok tipis bagian samping lehernya, namun ia segera dilarikan ke rumah sakit dan berhasil diselamatkan.

Cerita tentang seorang wanita yang jadi gila, yang telah membantai dua anaknya, gara-gara ditinggal menikah lagi itu kini jadi dongeng hidup di desa Salaempat. Ke sanalah sekarang Arman pergi, ke sebuah rumah sakit jiwa tempat orang yang ia tak ingin anggap sebagai ibu sedang mendekam.

***

Kula baru saja kembali dari depan kelas. Ia menambah kertas kosong untuk UTS hari ini. Hebat betul tampaknya dia, sebentar lagi dapat gelar magister, aih mantap sudah. Menjawab tiga pertanyaan UTS saja, sampai dua lembar kertas folio bolak-balik. Sungguhlah gempar menggelegar.

RantaiWhere stories live. Discover now