62

2.1K 264 40
                                    

"Kita harus menikah secepat mungkin."

"Haha," aku tertawa. James benar-benar sangat konyol.

"Itu adalah jalan terbaik yang kita miliki saat ini," tegasnya.

"Ka... Kau benar-benar serius?" kupertanyakan keseriusan perkataannya, berharap ia akan mengatakan bahwa sikap dan kalimatnya itu hanya sebuah lelucon untuk menggodaku saja.

James merogoh saku dalam kanan jas dengan tangan kirinya dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah kotak beludru kecil berwarna biru tua. Ia membuka kotak itu dengan sedikit susah payah akibat gips yang menghambat pergerakan tangan kanannya itu. Kemudian ia meletakkan benda itu di atas meja, seperti ingin sengaja menunjukkan sesuatu padaku. Cincin berhiaskan permata hijau besar ada di kotak itu.  Tentunya, pada detik yang sama, aku dapat menyimpulkan sesuatu. Sesuatu yang menjadi kabar buruk bagiku untuk kesekian kalinya.

Ia sangat tidak main-main dengan ucapannya.

Tepat ketika James beranjak dari kursinya dan hendak berlutut ke arahku, dengan cepat aku menahannya. "Tidak. Aku belum siap untuk melakukannya."

Lebih tepatnya, aku tidak akan pernah siap dan ingin menjalaninya. Aku membantunya untuk berdiri tegap. Meskipun aku tak terlalu bersimpati dengan James, rasanya aku tak ingin membiarkan kalimat permohonan untukku agar mau menikah dengannya terlontar dari bibirnya. Aku sama sekali tak ingin mendengarnya.

Aku hanya terdiam sejenak. Berusaha memikirkan kalimat apa yang sebaiknya keluar dari mulutku.

"Apa kau tak menyukai caraku yang seperti ini?" tanya James. "Kau memang sudah terlanjur mengetahuinya. Ini hanya masalah waktu, aku tak begitu sempat untuk mempersiapkan banyak hal. Tapi jika kau menginginkan sesuatu yang lebih, aku akan mengurusnya. Kita bisa pakai pulau pribadiku, mengundang keluarga dan teman-temanmu lalu kau bisa berpura-pura terkejut ketika aku melamarmu."

"..."

"Bagaimana jika aku meminta stasiun televisi untuk meliputnya secara langsung? Apa kau menyukai hal seperti itu?" ide 'gila' yang James keluarkan benar-benar berhasil membuatku semakin tak dapat berpikir.

"Tidak, bukan itu alasannya," jawabku datar. Kubuang pandanganku pada lantai marmer restoran, aku tak ingin menatap wajah pria itu.

"Lalu? Apa kau tak menyukai model cincinnya?"

Kali ini, tubuhku bekerja jauh lebih cepat dibandingkan dengan otakku. Tanganku menyambar tasku. "Aku harus segera pergi, James."

Secara spontan, aku melarikan diri dari tempat ini. Aku ingin menjauh dari kabar buruk ini. Rasanya aku ingin mengamuk menyalahkan keadaanku saat ini, tapi itu tidak mungkin.

Aku terlalu muak dengan tebakan James mengenai hal ini. Sebenarnya James tak sepenuhnya salah, hanya saja aku tak bisa mengatakan alasan mengapa aku tak ingin terburu menikah dengannya. Atau lebih tepatnya tak ingin menikahi James.

Aku berjalan cepat ke arah pintu dan bersiap untuk menghilang dari tempat ini. Tentunya James mencoba menggentikanku dengan cara menarik lenganku. Sayangnya, tanpa sengaja gips tangannya menyenggol sebuah botol anggur yang sedang dibawa oleh seorang pelayan hingga terjatuh dan membuat sedikit kekacauan di tempat ini.

"Tunggu, Jillian! Aku belum menjelaskan perihal Dreamcity," Itulah kalimat terakhir yang kudengar sebelum aku menghilang ke balik pintu kaca restoran yang indah ini. Ia mengungkit mengenai Dreamcity, yang seharusnya berhasil membuatku kembali. Sayangnya, aku terlalu keras kepala. Aku tak mempedulikan alasan apapun yang membuatku harus menikahi James dalam waktu dekat.

Setelah berada di luar restoran itu, untungnya dengan cepat aku mendapatkan taksi. Berselang beberapa detik setelah taksi yang kunaiki berjalan, kulihat James berlari keluar restoran dan berusaha mengejar taksiku. Sang supir sedikit menoleh ke arahku. Seakan secara tak langsung meminta persetujuan untuk menghentikan laju kendaraannya.

"Jalan saja," ucapku sembari turut menoleh ke arah restoran, memastikan James tak berhasil mengejar taksiku.

Kurogoh tasku dan secepat mungkin menyambar ponselku. "Leon, aku membutuhkanmu."

***

"Aku sangat senang melihat kau di sini," ucapku tepat ketika Leon muncul dari balik pintu utama tempat rahasia kami. Kemudian kutenggelamkan tubuhku padanya, memeluknya.

"Kupikir kau memintaku untuk menunggumu disini," ucap Leon sembari perlahan melepaskan pelukan dan menatap wajahku. Ia lalu menaruh beberapa bir kalengan yang dibawanya ke atas coffee table. "Sampai makan malammu bersama Tuan My-"

Sebelum Leon menyelesaikan perkataannya, aku kembali memeluknya. Jauh lebih erat dari pelukanku sebelumnya. "Aku senang kau berada disini," kuulangi kalimatku, menyiratkan begitu bersyukurnya bertemu kembali dengan Leon. Sembari berpikir bagaimana cara menjelaskan mengenai James yang memintaku menikah dengannya secepat mungkin.

Kira-kira, bagaimana tanggapan Leon mengenai hal ini? Apakah ia akan marah atau...

Ketika Leon mengangkat wajahku yang terbenam di kemejanya, aku hanya terpana. Aku tak mampu memikirkan respon apa yang akan Leon berikan nantinya. Aku terlalu sibuk mengagumi pria ini.

Leon menuntunku untuk menciumnya. Sebuah kecupan yang semakin panas setiap detiknya. Leon bahkan menutup pintu sedikit terburu dengan menggunakan kakinya.

Kita harus menikah secepat mungkin.

Perkataan James itu tiba-tiba muncul di kepalaku, dan berhasil merusak suasana hatiku. Aku sedikit mendorong tubuh Leon, untuk menyudahi ciuman kami. Aku sudah tak dapat kembali menikmatinya, aku terlalu gelisah. Namun Leon semakin menarikku dan tak membiarkanku kembali melepaskan sentuhan bibirnya pada bibirku.

Ia menggiringku menuju kamar 'kami'. Aku mencoba menahan langkahku, namun Leon sedikit mengangkatku sehingga ujung jemari kakiku tak menyentuh lantai meskipun berjinjit. Ia sedikit memaksa kali ini. Leon lalu melemparkanku ke atas tempat tidur.

Suasana hatiku terlalu bercampur aduk, sehingga aku sama sekali tak menikmati ciuman serta pelukan Leon. Aku terlalu dalam memikirkan permintaan James serta bagaimana cara aku menjelaskannya pada Leon. Karena itu, aku sedikit memberontak. Kutepis berkali-kali tangan pria itu yang mencoba mencumbuku.

"Tidak, Leon! Hentikan!" pintaku.

Namun Leon seakan tak mendengarkan ucapanku yang separuh teriak itu. Salah satu telapak tangannya mencengkram pergelangan tanganku, mengunciku untuk tak lagi berusaha melepaskan diri darinya.

Plak!
"Sudah kukatan, lepaskan aku!" aku meneriakinya sembari melepaskan sebuah tamparan di wajahnya.

Leon pun terdiam sejenak. Dipalingkan pandangannya dariku, lalu ia sedikit menjaga jarak. Perlahan, ia mengarahkan kembali bola matanya padaku. Kali ini cara menatapku begitu berbeda. Terlihat begitu...

menyeramkan. Seperti ada sebuah api yang menyala disana.

"Apa yang kau lakukan Nona Reed?"

***

Tbc.

jil(L)eonWhere stories live. Discover now