18

9.8K 1.4K 64
                                    


"Leon," panggilku pada pria di hadapanku yang sibuk dengan buku sketsa miliknya.

Suaraku kali ini berhasil memecah keheningan yang menyeruak di ruang  diskusi kecil tempatku dan Leon berada saat ini. Hanya berdua. Sejak kembali ke kantor bersama Tuan Alba, Leon sama sekali tak membahas mengenai acara makan siang yang ia janjikan kepadaku.

"Panggil aku Walker. Kita sedang berada di kantor," balasnya. Ia masih fokus terhadap guratan pensil kayunya. Leon rak menghdiahiku senyuman ataupun memperlihatkan mata cokelatnya padaku. Caranya berbicara padaku seakan menyiratkan jika ia bukanlah Leon yang kukenal.

"Selama makan siang aku menunggumu di lobby utama, tapi kau tak kunjung datang. Kau tahu? Aku melewatkan makan siangku karena menunggumu." Ucapku.

Tak ada respon dari Leon. Seharusnya aku tak membicarakan hal yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Namun mengingat Leon mengingkari janji makan siangnya, kuputuskan untuk mengajaknya bicara sebelum diskusi kami dimulai.

"Hei." Ucapku sembari memegang tangannya. Secara tak langsung aku memaksanya untuk memperhatikanku.

Leon, tataplah aku! Aku bahkan menghabiskan waktu satu setengah jam untuk menata ulang rambutku untukmu.

Leon menghentikan goresan pensilnya. Akhirnya ia melemparkan pandangannya kepadaku. Aku bersumpah, rasanya aku ingin memuntahkan jantungku karena organ itu berpacu lebih kencang tepat ketika Leon menatapku. Entah mengapa rasanya sangat aneh. Sedikit kikuk.

"Apa kau berniat mengerjaiku? Akan kulaporkan pada mommy!" Ancamku sembari terkekeh. Aku mencoba untuk lebih santai ketika berbicara dengan Leon.

Ia terdiam. Pandangannya masih bertamu di wajahku.

"Kupikir hanya Jean saja yang senang menjahili orang lain," sambungku dengan riang.

"Aku menyarankan warna hijau sebagai warna utamanya. Itu akan membuat logo produk yang memiliki warna oranye sebagai warna dominan logo mereknya lebih hidup. Iklan pada televisi akan dibuat sedikit dramatis dengan pengambilan gambar selama beberapa detik ketika botol minumannya berada pada kondisi dingin dan sedikit berembun," Leon menunjukkan halaman buku sketsa yang berisi hasil karya yang baru dibuatnya. Leon seakan mencoba mengalihkan pembicaraanku.

Kali ini akulah yang terdiam selama beberapa detik. Mungkin Leon memang tak ingin membicarakan hal selain pekerjaan padaku. Seharusnya aku paham jika hal itu mengusiknya, mengingat Leon pergi meninggalkan rumah begitu saja.

Brek!

Suara robekan kertas dari buku sketsa milik Leon sedikit mengagetkanku gang sedang termenung sembari menatap Leon.

"Dari responmu, kuanggap kau tak begitu setuju dengan ideku," Leon meremas kertas yang berisi hasil karyanya itu, dan menaruhnya di ata meja begitu saja.

"Tidak. Idenya sangat bagus!" Ucapku. "Aku menyukainya."

Kuambil kertas yang baru saja dieliminasi oleh Leon dari bukunya. Kubuka dan kurapikan kertas itu, walaupun hal itu tak berhasil membuat kondisi kertas itu kembali seperti semula.

"Gambarmu selalu mengagumkan," komentarku sembari menatap kertas yang ada di tanganku itu.

"Sepertinya kau berhasil membuktikan mengenai hal yang kau impikan." Ucapku.

"Tenang saja Leon, Daddy sudah menceritakan semuanya. Dan saat ini akulah yang akan meneruskan Dreamcity," Aku mencoba memberikan pengertian padanya. "Kau tak perlu khawatir. Kau hanya perlu kembali ke rumah. Semuanya sangat merindukanmu."

Kuhadiahi dirinya sebuah senyuman.

"Apa kau ingin pulang bersamaku malam ini?" tanyaku.

***

Tbc.

Maaf (lagi) guys, lagi agak full... Hihihi... Yang sabar ya nungguin apdetannya wkwkk

jil(L)eonWhere stories live. Discover now