Jimin mendekat dengan langkah tergesa. Lengan Lian yang penuh luka digenggamnya untuk dilihat lebih dekat. Jumlahnya sungguh tidak sedikit, hingga Jimin tak bisa membayangkan sudah berapa lama luka-luka itu mulai menggores lengan kecil itu.

"Ini apa?"

Lian tidak menjawab. Yang dilakukannya hanya menarik tangannya dalam sekali sentak. Jimin dititah untuk berbalik, jangan sekali pun menoleh sampai Lian selesai dengan urusannya mengganti pakaian. Tidak sampai satu menit, seragam Lian sudah berganti kaus lengan panjang hijau muda dan celana training panjang warna hitam.

"Lian, kau ... melukai dirimu sendiri?"

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jimin penasaran tentang apa yang terjadi dalam hidup orang lain. Orang itu adalah Lian, yang semakin tidak bisa diabaikan eksistensinya begitu rahasia tentangnya ia ketahui satu per satu. Perlakuan kakaknya, dan kini luka di tangannya.

Lian tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia duduk di tepian ranjang, menciptakan hening berkepanjangan. Menimbulkan rasa penasaran dalam diri Jimin tentang sebanyak apa luka yang selama ini disembunyikannya, sampai harus melukai dirinya sendiri sebagai pelampiasannya.

Hening tak kunjung pecah sampai ada yang menggenang di manik jernih milik Lian. Hari itu Lian berkata pada Jimin, sampai kapan pemuda itu akan terus sembunyi. Nyatanya, selama ini dirinyalah yang selalu sembunyi, menyimpan lukanya seorang diri, hingga ia sendiri tidak tahu sudah sebanyak apa rasa sakit yang ditanggungnya selama ini.

Jimin melangkah maju dengan perasaan ragu. Tapi pada akhirnya ia tak kuasa melihat Lian menangis seorang diri dan membawanya dalam pelukan hangat yang tak pernah gadis itu terima selama ini. Pun tidak ada kata yang terucap olehnya. Dibiarkannya tangis Lian membasahi seragamnya, membiarkan gadis itu mengeluarkan sedikit saja luka di hatinya.

***

Lian tidak mengerti kenapa dirinya begitu emosional hari itu. Padahal bisa saja ia bersikap tak acuh, tak membiarkan Jimin mengulik lebih dalam tentang luka di balik banyak goresan di lengannya. Well, sejauh ini Lian memang belum cerita apapun pada pemuda itu, tapi entah bagaimana nanti.

Terkadang mulutnya bisa seperti ember bocor jika sudah tidak tahan menanggung luka yang dideritanya. Sebab pernah suatu kali Lian mengirim ceritanya ke sebuah radio. Memang secara anonim, tapi kemudian katanya Dinas Perlindungan Anak meminta informasi tentang pengirim cerita—di mana pengirim itu adalah Lian. Untung saja pihak radio konsisten melindungi informasi pendengarnya, sehingga tidak pernah ada kunjungan dari dinas terkait berkunjung ke rumahnya hingga keluarganya kembali pindah.

Jika kali ini mulutnya akan bocor pada Jimin, apakah semua akan membaik? Lian tidak berharap terlalu jauh seperti kakaknya akan berhenti melecehkannya setiap kali habis bertengkar hebat dengan Ibu. Tapi setidaknya, apakah Jimin bisa dijadikan tempat berbagi untuk setidaknya mengurangi sedikit rasa sakit? Sementara Jimin memiliki lukanya sendiri yang juga tak kalah menyakitkan.

"Pasti sulit hidup sepertimu." Lian mulai berceloteh. Saat ini ia dan Jimin sedang berada di kantin, menikmati donkatsu—menu idaman sepanjang masa. Lian sengaja mendekati Jimin, dan pemuda itu kini tidak terlihat keberatan.

"Aku penasaran bagaimana kau menahan rasa sakitmu selama ini, karena itu aku berusaha sedikit membantu. Tujuanku memang untuk tahu bagaimana kau mengatasinya selama ini."

"Sudah menemukan jawaban?"

Lian menggeleng. "Kau terlalu sulit ditebak. Menyebalkan sekali." Tangannya sibuk memotong-motong donkatsu di nampannya, tapi belum ada satu suap pun yang masuk ke kerongkongannya. "Meski begitu, aku tetap ingin menebak. Kau memilih memendamnya seorang diri, tidak peduli sesakit apa pun itu, kau tidak membiarkan orang tahu akan rasa sakitmu."

"Itu yang kau katakan dengan sulit ditebak?" Jimin mencibir. Jawaban Lian malah menunjukkan semudah apa dirinya ditebak walau keduanya sama sekali tidak akrab.

"Pikirmu pasti merepotkan jika membiarkan orang lain tahu. Iya, 'kan?"

"Memangnya tidak? Kini kau tahu dan itu sangat merepotkan. Kau selalu merecoki kapan pun hanya demi memperoleh jawaban atas rasa penasaranmu. Yang lain pun pasti sama saja. Mereka tahu, dan nantinya akan mulai ikut campur."

Lian mengangguk setuju. Mengingat ceritanya di radio dulu dan berujung dinas terkait mulai akan ikut campur, meski bukan itu yang Lian inginkan. Meski tidak ingin ada orang lain yang campur tangan dalam masalahnya, berbagi dengan orang lain walau hanya untuk didengarkan sepertinya bukan keputusan yang buruk. Jika dipendam seorang diri, bukankah itu hanya mengubah rasa sakit itu menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja?

"Setelah tahu apa yang kulakukan untuk mengalihkan rasa sakitku, aku yakin kau pasti penasaran kenapa aku melakukannya. Tapi memutuskan untuk menahan diri tidak ikut campur pada apa yang bukan menjadi urusanmu, itu hal yang sulit dan kau tetap melakukannya."

Jimin meletakkan sumpitnya. Donkatsu yang selalu menjadi kesukaannya sejak kecil mendadak kehilangan pesonanya untuk memancing selera makannya untuk membersihkan nampan makannya hingga tandas.

Mata jernih Lian ditatapnya tajam. Sorot sok tahu yang menyembunyikan banyak hal menyakitkan yang dilaluinya selama ini. Tebakan Lian pertama boleh benar—tentang alasan Jimin menyembunyikan luka, tapi tidak dengan yang terakhir.

"Aku tidak bertanya karena memang aku tidak penasaran," kata Jimin. Ia masih menimang apakah perlu ia mengatakan apa yang bergumul seperti benang kusut di kepalanya atau tidak. Tidak semua orang lukanya ingin diketahui oleh orang lain, pikir Jimin begitu.

"Tidak penasaran?" Lian sangsi akan hal itu.

"Aku tahu penyebabnya."

Kalimat terakhir Jimin mengubah sorot mata Lian dalam sekejap. Ada rasa takut dan cemas bercampur di sana. Jawaban Jimin jauh dari ekspektasinya. Akan lebih baik jika Jimin penasaran, lalu Lian akan mengupasnya satu per satu. Biasanya seperti itu.

"Apa yang kakakmu lakukan malam itu, aku melihat semuanya."

***

Apa yang kalian harapkan dari relationship antara Jimin & Lian?

Undefined [Re-Write]Where stories live. Discover now