Jimin terang-terangan menghindari Lian setelah perdebatan kecil mereka di UKS. Satu-satunya tempat di mana ia tidak menghindari gadis itu adalah di kelas. Kursi mereka masih bersebelahan, dan Jimin enggan untuk meminta pindah tempat duduk pada setidaknya ketua kelas.
Yang tidak diinginkannya jelas keingintahuan teman sekelasnya tentang hubungannya dengan Lian. Mereka sudah cukup penasaran setelah Lian membantunya mendapat izin di kelas olahraga, dan Jimin tidak berminat menambah rasa penasaran mereka dengan terang-terangan menjauhi Lian sampai minta pindah tempat duduk segala.
Usaha Jimin menghindari Lian berhasil selama kurang lebih dua hari. Semua berjalan sesuai rencana dan mungkin akan begitu seterusnya—Lian takkan punya kesempatan ikut campur urusannya lagi, sampai hari ini wali kelas memanggil keduanya ke ruang guru.
"Sebentar lagi ujian akhir semester. Karena kepindahan Lian cukup dekat dengan ujian, jadi sepertinya proses adaptasinya pada sistem pembelajaran di sini mungkin kurang maksimal."
Kurikulumnya mungkin sama, tapi Lian dapat merasakan perbedaan sistem mengajar serta materi yang diberikan di sekolah barunya. SMA Nakwon adalah salah satu sekolah elit di mana guru dan siswa di sana memiliki kualitas yang mumpuni. Lian baru dengar hari ini, bahwa ternyata Jimin adalah siswa berprestasi yang tak pernah tersingkir dari posisi teratas peringkat akademis.
"Kuharap kau tidak keberatan membantu Lian untuk beradaptasi lebih cepat."
"Kenapa harus saya?" Dari pertanyaan ini, harusnya wali kelas tahu bahwa Jimin keberatan untuk membantu Lian. Bukan hanya tentang beradaptasi, dalam hal apapun.
"Rumah kalian berdekatan, 'kan?"
"Saya tidak melihat itu bisa dijadikan alasan kenapa saya harus membantunya."
"Karena kau mampu, Jimin."
"Meski saya tidak mau?"
Wali kelas, Jeon Ssaem mendengus. Sejak awal, Jimin memang sulit ditangani jika berurusan tentang bersosialisasi dengan orang lain. Jika ada tugas kelompok, Jimin hanya sekedar ikut serta, namun juga menolak jika mengerjakannya di rumah salah satu anggota kelompok. Lebih baik di sekolah, atau toleransi terjauhnya adalah di ruang belajar umum.
"Beri alasan yang bagus kenapa kau tidak mau?"
Jimin memilikinya. Alasan yang menurutnya bagus, selain fakta bahwa dirinya enggan berurusan dengan orang lain dalam hal memberi bantuan. Jimin tidak suka dengan Lian yang suka ikut campur tanpa diminta. Itu cukup untuk dijadikan alasan—menurutnya, namun Jimin urung untuk mengatakannya karena wali kelasnya tidak akan pernah menganggap itu sesuatu yang layak dijadikan alasan untuk menolak.
"Satu minggu," kata Jimin. "Hanya satu minggu. Saya juga butuh waktu untuk belajar sendiri."
Wali kelas tersenyum puas, begitu juga Lian yang sejak tadi memilih bungkam. Menikmati perdebatan Jimin dan wali kelasnya. Sebegitu inginnya Jimin menghindar, namun pada akhirnya tidak bisa.
Dinding Jimin tidak sekuat itu. Lian menemukan celah untuk melewatinya.
***
Jimin menemukan ruang yang berantakan saat dirinya pulang sekolah. Sepatu ibunya dan sepasang sepatu pantofel hitam bersarang di depan pintu—tidak dirapikan di rak samping pintu. Beberapa botol bir kosong memenuhi meja di ruang tengah. Ada juga satu gaun one piece tergeletak di dekat rak TV.
Suara musik klasik terdengar dari kamar ibunya. Suara musik yang selalu dijadikan peredam dari suara lain yang tercipta dari pergumulan dua insan yang selalu berganti hampir setiap harinya.
Jimin selalu ditekankan bahwa dirinya adalah milik ibunya seorang. Namun tidak dengan sang ibu yang bebas dimiliki siapa pun yang menginginkannya. Pekerjaan sebagai agen asuransi hanya tameng yang dipakai saat bersosialisasi dengan orang lain dalam kehidupan normal. Namun nyatanya, pekerjaan utama ibu Jimin adalah menjajakan dirinya sendiri pada pria hidung belang.
YOU ARE READING
Undefined [Re-Write]
FanfictionAda banyak hal yang terkadang tak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Di antaranya adalah luka dan cinta. 1st: 11 Desember 2017
![Undefined [Re-Write]](https://img.wattpad.com/cover/127600603-64-k215146.jpg)