"Pokoknya jangan di perpustakaan."
"Lalu di mana? Rumahmu?"
"Tidak."
"Lalu? Di rumahku, begitu? Masih berantakan karena Ibu dan kakakku hampir tidak pernah ada di rumah untuk membereskannya. Tiga hari kemarin juga aku hanya tidur."
"Rumahku juga tidak serapi itu, tapi ada Ibu di rumah. Sebenarnya... ibuku tidak suka jika aku mengajak orang lain ke rumah." Jika malam itu tidak karena terburu-buru, ibu Jimin pasti sudah mengutarakan banyak alasan untuk menolak keinginan Jimin membawa temannya ke rumah. Entah apa yang Jimin pikirkan saat itu sampai sempat mengajukan rumahnya sebagai tempat belajar. Bantuannya tidak akan pernah efektif jika tempatnya memberi bantuan adalah neraka.
"Oke. Di rumahku sepulang sekolah. Tapi jangan mengeluh kalau rumahku seperti kapal pecah."
***
Rumah Lian tidak seberantakan apa yang dikatakan. Semua sudah tertata rapi, perabotan sudah berada di mana mestinya. Tidak seramai interior di rumah Jimin, konsep minimalis mendominasi hampir di setiap ruangan yang Jimin lihat begitu ia menginjakkan kakinya ke rumah gadis itu.
Mereka bisa belajar di ruang tengah, dimana ada satu meja kayu berkaki rendah diletakkan di tengah ruangan dekat TV. Sayangnya, ada beberapa orang yang sudah mendahului menempati meja itu sebelumnya.
"Oh. Kau sudah pulang, Sayang?"
Ibu Lian sedang berada di rumah. Bersama beberapa teman yang baru pertama kali Lian lihat. Ada dua perempuan dan satu laki-laki. Mungkin saja itu rekan baru di kantornya sekarang. Terkadang, ibunya mengundang rekan kerjanya ke rumah untuk sekedar bercengkerama.
Lian kemudian diperkenalkan. Tidak ada pujian selangit seperti yang biasa para Ibu lakukan untuk menaikkan gengsinya. Akan tetapi, Ibu tersenyum bangga ketika salah satu rekannya memuji kecantikan Lian dan mengatakan bahwa itu jelas menurun darinya. Walau dengan nada bercanda, Lian dapat melihat ada kesungguhan dari perkataan ibunya.
"Eh? Itu siapa?" Ibu baru menyadari eksistensi Jimin yang mematung di dekat rak sepatu, tak jauh dari pintu masuk.
"Itu temanku, Park Jimin. Dia tinggal di rumah sebelah. Kami harus belajar untuk mengerjakan tugas kelompok."
Tentu saja Lian tidak mengatakan bahwa kehadiran Jimin adalah untuk membantu proses adaptasinya yang lambat. Tidak di hadapan rekan kerjanya yang mungkin hanya akan mempermalukan beliau, bahwa putrinya tidak cukup pintar untuk bisa beradaptasi sendiri.
"Begitukah? Kalau begitu kalian belajar di kamar saja, agar tidak terganggu oleh kami."
Lian cepat-cepat mengajak Jimin naik ke kamarnya. Menutup rapat pintu dan menguncinya. Ibu takkan sepenasaran itu untuk sampai memeriksa mereka di kamar, apakah sungguh belajar atau melakukan hal lainnya. Tapi Lian masih tidak mengetahui apakah Yoongi ada di rumah atau tidak. Jika sampai Yoongi tahu Lian membawa laki-laki ke kamarnya—meski dengan sepengetahuan Ibu, urusan malah akan jadi runyam.
Begitu masuk, Jimin seakan sibuk menginspeksi. Kamar Lian tidak seminimalis ruangan lainnya. Ada ranjang tunggal, set meja dan kursi belajar, lemari kayu satu pintu di sudut ruangan, dan rak penuh dengan koleksi komik di sudut lainnya. Meja belajarnya terlihat penuh karena tumpukan buku dan ada set komputer di sana.
Di depan lemari, Lian membuka hoodie besarnya. Juga jas sekolahnya yang berlengan panjang, dan menggantungkan semuanya pada gantungan dekat lemari. Untuk sesaat Lian lupa, bahwa ada eksistensi selain dirinya di sana.
"Lian, tanganmu ...."
Lalu Jimin terlanjur melihatnya. Lengan putihnya yang tak sempurna karena beberapa goresan. Ada yang tinggal bekas, ada yang masih terlihat baru karena masih cukup memerah. Lian sempat kelabakan ingin menutupinya kembali, namun terlambat.
YOU ARE READING
Undefined [Re-Write]
FanfictionAda banyak hal yang terkadang tak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Di antaranya adalah luka dan cinta. 1st: 11 Desember 2017
04: Sick
Start from the beginning
![Undefined [Re-Write]](https://img.wattpad.com/cover/127600603-64-k215146.jpg)