"Mama! Mama kenapa malam-malam datang kemari?" tanya Devan tenang. Ia berusaha menahan amarah dan rasa takutnya. Tak seharusnya ia marah kepada Mamanya.

"Mama datang kemari untuk memberi pelajaran kepada anak Mama yang brengsek ini." Mendengan ucapan sang Mama yang terkesan kasar, Devan semakin yakin Mamanya itu sedah tau akan perbuatannya.

"Kenapa Mama berbicara seperti itu?" tanya Devan seperti orang bodoh. Ia hanya ingin memastikan apakah dugannya itu benar atau salah.

"Istrimu sedang hamil dan sekarang kau masih disini membiarkan istrimu berjuang sendirian disana?" Devan sedikit bernapas lega. Ternyata perdiksinya tidaklah benar. Namun, tetap saja dia harus berhadapan dengan kemarahan sang Mama.

"Memangnya ada apa sih Ma?" tanya Devan tak acuh. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya dan membuka-buka berkas ditangannya.

Clara yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan jalan pikir putranya itu. Ia semakin yakin, tamparan yang ia layangkan memang pantas untuk pria itu. Apakah Devan selalu membiarkan Rora seperti itu? pikir Clara.

Hembusan napas berat terdengar dari hidung Clara. "Istrimu sedang mual. Apa kau tidak menemaninya selama tiga bulan ini?" tanya Clara dengan tatapan menyelidik.

"Morning sickness," ucap Clara geram. Ia semakin curiga putranya itu benar-benar tidak menemani Rora.

Seperti orang bodoh devan menatap mamanya bingung. Ia benar-benar tak mengerti apa yang diucapkan mamanya sekarang.

Devan membulatkan matanya. Ia melupakan satu hal. Menyadari hal itu devan menutup berkasnya dan berdiri. Ia menghampiri wanita di hadapannya itu.

"Mama, sepertinya sudah terlalu lama diluar. Bagaimana jika Ayah mencari Mama, sebaiknya, Mama kembali ke kamar," ujar Devan mencoba membujuk sang Mama.

"Oke, tapi kamu cepat kembali ke kamar. Temani Mate kamu! Mama ingin ke dapur dulu," titah Clara yang dijawab senyum dan anggukan oleh sang putra.

Devan membuka pintu kamarnya dan langsung mendapati Rora yang sudah tertidur pulas. Ia senang Rora sudah dapat tidur dengan tenangn

Tak langsung mendekati Matenya, Devan memilih untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang dapat membuatnya lebih segar.

Lima belas menit berlalu, Devan bertelanjang dada keluar dari kamar mandi. Merasa penat, Devan langsung mendekati kasur dan menjatuhkan tubuhnya di sana.

"Sorry" bisik Devan tepat ditelinga Rora. Pria itu mengecup dahi Matenya  sebelum ia merebahkan dirinya dan menutup mata.

*****

Hari mulai malam. Lunar memancarkan cahayanya menyinari semua kaum dari gelapnya malam.

Saat ini Rora sedang menuju ke kamarnya setelah bercanda ria dengan sang kakak ipar. Lelucon-lelucon yang Nasya berikan membuatnya lelah kerena tertawa. Ia tak kuat lagi bila terus berada di sana.

Devan? Jika kalian bertanya soal Devan, Rora belum bertemu dengan pria itu. Saat ia bangun di pagi hari, pria itu sudah tidak ada di kamarnya.

"Luna!" Salah seorang maid menghampirinya. Maid itu membawa lipatan kertas yang langsung ia berikan kepada Rora.

Setelah memberi hormat dan sebuah senyuman maid itu langsung meninggalkan Rora tanpa sepatah kata pun.

Rora yang mendapat kertas itu hanya menatapnya bingung. Kenapa ia diberi secarik kertas? pikirnya. Tak inggin berlama-lama, Rora segera membuka kertas itu.

My Perfect Luna (COMPLETE)  Where stories live. Discover now