Selama ini Yoongi bekerja di beberapa tempat hanya untuk memiliki penghasilan yang bisa memenuhi kebutuhannya di luar makan dan tempat tinggal yang sudah dipenuhi oleh ibunya. Paruh waktu di minimarket, bekerja di bar, sampai bekerja di gudang distributor makanan pernah dijalaninya.
Untuk kepindahannya kali ini, Yoongi belum menemukan pekerjaan. Sebenarnya, mencari pun belum. Ia perlu menyusun rencana ke depan karena sepertinya ia bisa mulai kuliah tahun depan. Tidak perlu universitas berkelas, selama Yoongi bisa mendapat ijazah dengan level lebih tinggi dari ijazah SMA.
Yoongi keluar kamar menjelang tengah malam. Koridor selebar dua meter yang menjadi pembatas antara kamarnya dan Lian di lantai dua sudah gelap. Tapi Yoongi merasa tak perlu untuk menyalakan lampu. Langkahnya tidak terganggu sama sekali ketika menuruni anak tangga ke lantai satu yang sama gelapnya.
Tidak ada siapa pun di sana. Kamar utama yang ditempati ibunya pun setahunya kosong. Saat jam sembilan tadi, wanita empat puluh lima tahun itu pergi dengan tergesa entah mau ke mana. Sejak pindah ke rumah itu, hampir setiap malam ibunya selalu pergi. Akan kembali sekitar jam lima pagi hanya untuk bersiap untuk berangkat bekerja.
Yoongi membiarkan dirinya tenggelam dalam gelap. Duduk sendiri di salah satu kursi makan dekat dapur. Tidak ada yang dilakukannya selain membiarkan dirinya menyatu dalam keheningan yang justru terdengar berisik di telinganya.
Kepala yang seakan terasa berat diletakkan perlahan di atas meja. Matanya terpejam. Membiarkan dirinya semakin tenggelam, lalu keheningan yang berisik itu terinterupsi karena nyala lampu yang begitu menyilaukan mata sipitnya.
"Kursi itu sepertinya tidak lebih nyaman dari kasur di kamarmu," ujar Lian. Langkahnya menyatu dengan keheningan, hingga Yoongi tidak menyadarinya. Tahu-tahu kaki mungil itu sudah berdiri tegap di samping dapur.
"Kasurku tidak lebih nyaman dari kasur di kamarmu," sahut Yoongi. Ia tak beranjak sedikit pun. Mengangkat kepalanya dari atas meja pun tidak. Hanya matanya mengikuti langkah adiknya yang kini duduk di sampingnya dan mengambil posisi yang sama dengannya.
"Aku ingin memberitahu sesuatu," kata Lian. "Dengar, ya?"
"Membosankan, tidak?"
"Sedikit."
"Kalau begitu persingkat."
Lian tersenyum. Kakaknya mudah bosan pada cerita panjang. Sebab itulah lelaki itu tidak pernah suka dongeng sejak kecil, berbeda dengan Lian yang memang tipikal pendengar yang baik.
"Kemarin aku lihat gereja. Dekat supermarket yang ada di persimpangan pertama dari halte bus depan."
"Kau ke gereja?"
Lian mengangguk lemah. "Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berdoa."
Jangankan menjadi sosok religius, sejak kecil pun dua kakak beradik itu tidak pernah dikenalkan dengan agama apa pun. Mereka hanya beberapa kali ke gereja kalau ada kegiatan keagamaan di sekolah saja. Ikut datang, tidak dengan berdoanya.
"Berdoa apa?"
"Kau akan bahagia."
"Kenapa harus aku? Kenapa tidak berdoa untukmu saja? Yang butuh bahagia bukan aku."
"Memangnya lukaku selama ini asalnya dari siapa? Lukamu yang bagimu terlalu besar itu tidak bisa kau tanggung sendiri rasa sakitnya, sampai kau harus menyakitiku untuk berbagi rasa sakit yang tak pernah kuinginkan."
Terkadang, Yoongi merasa sangat bersalah karena harus melibatkan Lian dalam rasa sakit yang harusnya bisa ditanggungnya sendiri. Tapi dalam terkadang itu, Yoongi selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak menyakiti adiknya itu. Yoongi seakan tidak tahan melihat gadis kecil itu hidup tenang, sementara dirinya selalu diliputi rasa sakit yang enggan untuk disembuhkan.
YOU ARE READING
Undefined [Re-Write]
FanfictionAda banyak hal yang terkadang tak dapat didefinisikan dengan kata-kata. Di antaranya adalah luka dan cinta. 1st: 11 Desember 2017
02: Know
Start from the beginning
![Undefined [Re-Write]](https://img.wattpad.com/cover/127600603-64-k215146.jpg)