3. Sorry

414 114 104
                                    

"Kau terlalu menganggapku remeh, Harry."

Suara serak dari lelaki yang tengah menyeringai membuat Harry memicingkan matanya. Lelaki yang masih berdiri di ambang pintu itu memilih untuk tidak mendekat. Bodohnya Harry berpikir bahwa dirinya telah menjadi malaikat sesaat karena melepaskan seseorang yang seharusnya mendekam di tempat yang tak seharusnya wanita baik berada. Dirinya lupa dengan siapa dia berhadapan sekarang.

Brian Watson, seorang lelaki yang beberapa hari lalu menginjak umurnya ke-29 tahun. Sedari kecil Brian dilatih untuk menjadi seorang pebisnis andal oleh sang ibu. Sayangnya, orang itu mengkhianati dirinya dan orang lain yang ia panggil dengan sebutan ayah. Ya, ibu Brian bersama dengan lelaki lain dan ayah Brian memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran tak dapat menahan sakitnya ditinggal oleh orang yang begitu dicintai. Kasih sayang dan keceriaan anak remaja itu direnggut dan membawanya menjadi pebisnis luar biasa dengan mengelola kelab malam dan perbudakan wanita.

"Aku tidak sengaja melepaskannya." Mata biru milik Harry memandang lekat wanita yang bersimpuh di samping teman yang bagaikan pisau bermata dua. Ibarat pisau yang memiliki manfaat untuk membantu manusia, tetapi juga bisa digunakan untuk melukai manusia.

Tidak pernah sedetik pun Harry melupakan jasa Brian yang telah membantunya dengan kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki hingga saat ini dirinya masih dapat bernapas. Harry begitu polos menganggap bahwa itu hanya sekadar pertolongan yang biasa dilakukan sesama manusia. Tidak ada bantuan tanpa balasan yang setimpal bagi seorang pebisnis andal seperti Brian. Menjadi kaki tangan untuk membantu bisnis sang penolong adalah bentuk balasan dari kehidupan yang dia nikmati sekarang.

"Kau pikir kepalaku ini hanya aksesoris saja? Ya, anggap saja aku percaya dengan omong kosongmu itu. Aku masih bisa memberikanmu kesempatan jika kau masih ingin dia hidup," ucap Briyan dengan angkuhnya. Ia tahu, Harry adalah lelaki baik, tidak seperti dirinya. Namun, Brian tahu persis apa yang bisa membuat lelaki yang dulu ia selamatkan itu tetap bertekuk lutut kepadanya.

"Bob meminta izin untuk bersama keluarganya. Jadi, kuputuskan untuk kau yang akan mengawasi mereka pada malam ini. Jika lagi-lagi hati kecil tak bergunamu membuat kekacauan, aku tak segan-segan merenggut nyawamu saat itu juga," ancam Brian, kemudian berlalu meninggalkan Harry dan Stella yang masih terduduk di lantai dengan kepala yang menunduk.

Harry menghela napas berat. "Aku sangat benci lelaki itu," katanya seiring dengan langkah kaki yang mendekati Stella. Dia berjongkok dan mengangkat dagu wanita itu.

"Kenapa kau diam saja dan tidak memberontak seperti yang kau lakukan padaku tadi?" tanya Harry. Ada rasa lega saat matanya tak menemukan lecet di seluruh wajah Stella. Suatu waktu, Harry bersikap keji kepada wanita yang menjadi korban penculikannya, namun tidak dapat dipungkiri dirinya sering merasa bersalah setelah melakukan hal buruk itu.

"Dia bukan manusia. Melainkan monster yang terperangkap di dalam tubuh manusia. Aku tidak pernah bertemu dengan manusia seperti dia," ujar Stella dengan tubuh bergetar. Wanita itu tidak tahu apa yang akan terjadi pada kehidupannya nanti. Semua terlalu tiba-tiba dan tidak pernah terpikir olehnya akan menjadi salah satu wanita pemuas nafsu lelaki hidung belang di luar sana.

Harry tergelak, "Imajinasimu boleh juga. Ya, walau begitu aku setuju denganmu," ujarnya seraya menarik lengan kanan Stella agar segera berdiri dan berpindah ke ruangan di lantai dua di mana semua korban wanita akan diputuskan nasibnya untuk dijual atau pun menjadi pekerja di tempat tidak senonoh ini.

Stella meringis setelah lengannya dipegang oleh lelaki yang menculiknya. Lantas Harry mengerutkan keningnya lantaran yang ia ingat lengan kiri Stella-lah yang terkena tembakan darinya.

"Apa yang dia lakukan kepadamu?" tanya Harry sembari menggulung lengan kemeja biru yang Stella kenakan.

"Dia mencambukku." Brian begitu picik karena hanya mencambuk pergelangan kaki dan lengannya. Tentu lelaki itu tidak mau tubuh Stella menerima cambukan di tempat lainnya yang akan merugikan untuk bisnisnya.

"Kau bisa berjalan?" Baru saja Stella ingin membuka mulutnya, namun Harry kembali berkata. "Tentu kau harus bisa berjalan sendiri." Kemudian ia menarik paksa pergelangan tangan kanan Stella untuk pergi dari ruangan itu, tanpa peduli dengan ringisan yang didengarnya.

Kebingungan melanda Stella. Lelaki bernama Harry, ia yakin bukanlah orang jahat, tetapi melakukan penculikan sudah pasti orang jahat. Stella memilih tidak terlalu memusingkan sikap lelaki yang masih menariknya paksa. Sesampainya mereka di lantai dua, Stella sempat terpana memandangi lorong dengan lampu yang tak begitu terang di sisi kiri dan kanan. Terkesan menyeramkan, namun lukisan indah yang terpampang dengan jarak yang tak jauh satu sama lain, berhasil membuat lorong itu menjadi tempat yang elegan dan megah.

"Aku akan dibawa ke mana?" tanya Stella dengan suara kecil. Lorong panjang yang tengah mereka lewati begitu mencekam hingga ada sedikit ketakutan terselip di hati Stella.

"Menentukan nasibmu, tentu saja," jawab Harry.

Kini mereka telah sampai di depan pintu besar yang tertutup rapat. Harry mengetuk pintu sekali dan pintu terbuka lebar. Ruangan itu terdapat dua barisan sofa merah yang menghadap panggung kecil layaknya panggung tempat pertunjukan teater berbentuk proscenium. Hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Seorang lelaki yang tadi membukakan mereka pintu sudah pergi yang Stella sendiri tidak tahu ke mana.

"Apa maksudmu?" Saat itu juga pekikan dan permohonan keluar dari mulut beberapa wanita berpakaian minim. Tangan mereka diikat ke belakang dengan tali yang tersambung dari ikatan wanita di depan dan terus ke belakang hingga membentuk satu barisan dengan total sembilan wanita.

"Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Stella lagi, namun dengan suara menggeram marah bercampur aduk dengan panik dan ketakutan.

"Menjual kalian atau menjadi budak di sini sampai kalian tidak lagi dapat menghasilkan uang bagi seseorang yang kau sebut sebagai monster." Harry mendorong Stella dengan kasar kepada salah satu lelaki yang tadinya mengantarkan wanita bernasib sama seperti Stella ke ruangan tempat mereka akan dilelang atau pun diputuskan untuk bekerja di klub Only1.

"To-tolong aku ... aku tidak mau dijual atau pun bekerja di sini. Tolong lepaskan aku!" Stella berusaha memberontak dari lelaki yang menahan lengannya sekuat tenaga. Luka tembak dan cambukan semakin perih, tetapi rasa sakit itu terabaikan dengan kepanikan yang melanda Stella.

"Aku sudah memberimu kesempatan. Jika kau akhirnya masih berada di sini, itu memanglah nasibmu," ujar Harry tanpa belas kasihan. "Ganti pakaiannya, lima menit lagi pelanggan kita akan datang," suruhnya kepada lelaki tadi.

"Ja-jangan! Kumohon, Harry. Kumohon lepaskan aku," mohon Stella dengan air mata yang kembali berlinang. Tidak berbeda dengan wanita lainnya yang juga masih berusaha melepaskan diri dengan berurai air mata. Namun, semua sia-sia saja. Lelaki yang diperintahkan Harry, membawanya pergi dan tinggallah Harry serta empat lelaki lainnya bersama sembilan wanita.

"Maafkan aku ...," lirih Harry.

***

Halo~ jangan lupa vote cerita ini ya 😁

He is Dangerous ||KTH||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang