Part 11 - Hanif

94 13 2
                                        

Dian yang sedari tadi terlihat serius dan juga ingin meyakinkan Wanara langsung tertawa saat melihat jawaban cowok itu.

“Lagian jujur saja, yang kek tadi itu, sering kami lakukan kalau lagi iseng. Kami suka ngumpul terus ‘narik’, habis itu kami kerjain, kadang kami wawancara, gitu. Jadi sama sekali ndak bahaya,” lanjut Wanara lagi.

“Tapi lho…” Dewi masih tetap berusaha meyakinkan Wanara tapi tangannya dipegang oleh Dian.

“Wi, udah deh. Wanara juga udah bilang gitu kok. Jangan dirusak gara-gara urusan uang ya?” bujuk Dian ke arah sahabatnya.

Dewi melihat ke arah Dian sebentar lalu menghempaskan badannya ke kursi yang ada di belakangnya sambil melipat dada. Dia yang paling merasa dibantu disini. Bukankah wajar jika dia memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih?

Tak lama kemudian, Wanara sudah duduk di atas motornya. Tri sedang berdiri di bawah pohon agak jauh dari Wanara dan menghitung bintang di langit malam. Sedangkan Dian berdiri di sebelah Wanara dengan tubuh sedikit bergetar.

“Mmm. Kalau nggak ada kek gini, kamu masih mau kan main ke kos aku?” tanya Dian.

Wanara menggaruk-garuk kepalanya. Siapa yang nolak coba? Gadis cantik, anak kuliahan, minta diapelin.

Tapi…

“Nganu Mbak…” kata Wanara pelan.

“Mbak lagi!! Tadi kan udah panggil ‘Yan’ sih?” protes Dian.

“Huft,” Wanara menghela napas panjang dan dia mengangkat kepalanya.

Dia bisa melihat wajah gadis cantik itu menatapnya dengan penuh harapan.

“Gini Yan… Nganu… Aku susah ngejelasinnya,” kata Wanara sedikit bingung.

“Kamu punya cewek?” tembak Dian cepat sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Wanara menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Terus?” kejar Dian.

“Aku susah mau ngomongnya. Nanti aja aku kasih tahu lewat telepon ya? Sudah malam,” kata Wanara mencoba menghindar.

“Ish,” dengus Dian kesal, “Tapi beneran kan kamu belum punya cewek?” ulangnya lagi.

Wanara menggelengkan kepalanya.

Tak lama kemudian, sebuah motor terlihat melaju dari arah Tembalang menuju ke atas di tengah gelapnya malam.

=====

“Sudah wudhu?” tanya Iman.

“Udah tadi,” jawab Wanara sambil menganggukkan kepalanya.

“Ya udah kita tunggu aja di situ,” ajak Iman sambil berjalan ke arah salah satu sudut masjid di pinggir sebuah perumahan itu.

Wanara dan Iman pun duduk bersila di salah satu sudut masjid yang terlihat lengang dan tanpa kegiatan itu. Sekarang jam 10 pagi, sebagian besar warga perumahan tentu saja bekerja dan tidak berada di rumah mereka.

Tak lama kemdian, sebuah sepeda motor bebek tahun lama terlihat diparkir di halaman masjid dan sesosok laki-laki yang mengenakan baju kemeja dan kopiah di kepalanya berjalan masuk ke dalam masjid sambil mengucapkan salam kepada Wanara dan Iman.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam,” jawab Wanara dan Iman berbarengan sambil berdiri dan berjalan menuju ke arah laki-laki itu.

“Ini Wanara, pak Ustadz,” kata Iman sambil bersalaman dengan laki-laki yang dipanggilnya ustadz.

“Hanif,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Wanara.

“Wanara, Pak Ustadz,” jawab Wanara sambil bersalaman.

“Nggak lama nunggu kan?” tanya Ustadz Hanif sambil tersenyum dan meletakkan tas kecil yang dipakainya ke lantai.

“Nggak lama kok Pak Ustadz,” jawab Iman sambil tersenyum.

“Mmm. Saya wudhu dulu ya?” kata Ustadz Hanif.

“Monggo Pak, ada di sebelah sana,” kata Wanara sambil menunjukkan arah tempat wudhu yang terpisah dengan bangunan utama masjid.

02. Follower (On Going)Where stories live. Discover now