"Berapa usia kandungannya?" tanya Devan. Ia mengalihkan pandangannya, menatap tajam dokter itu.

"Kurang lebih, dua belas minggu, Alpha."

'Dua belas minggu, Rora pergi dari pack house baru empat minggu. Jadi, anak itu adalah, yha dia putraku.' Pikir Devan.

"Jangan sampai berita ini tersebar. Kalian bisa pergi." Setelah memberi hormat, Kerly dan sang dokter pun bergegas keluar.

"Hai!" ucap Devan membelai ramput Rora. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Rora. "Kenapa kau tidak memberitahuku?" lanjut devan seperti bisikan. "Jika aku tau, mungkin aku bisa menggunakan cara lain."

Selesai dengan ucapannya, Devan mengecup dahi Rora lalu membaringkan tubuhnya dan mulai terlelap. Malam ini sepertinya ia dapat tidur dengan tenang menyadari Mate dan calon anak mereka kembali ke pelukannya.

*****

Kedua mata Rora terbuka perlahan, mencoba menyesuaikan pencahayaan. Entah berapa lama ia tertidur, matanya terasa terpejam terlalu lama.

Rora mengedarkan pandangannya. Ia seperti tak asing dengan tempat itu. Kamar yang didominasi warna cream dan hitam. Yap, itu adalah kenar Devan.

Ingatan-ingatan kejadian yang berlalu berputar di ingatan Rora, membuat kepalanya terasa pusing. Rora ingat semua itu kejadian itu, tapi kenapa dia bisa kenbali di siani? Apakah semua hanya mimpi?

Suara shower memecah keheningan Rora. Ada seseorang di kamar mandi, Rora menyadari itu. Apakah itu adalah Devan?sudah lama ia tek melihat pria itu.

Suara showor berhenti, tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan Devan yang bertelanjang dada serta handuk kecil berada di tangan untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Kau sudah bangun?" tanya Devan dengan menggosok-gosokkan handuk di kepalanya, mengeringkan rambutnya yang basah.

"He'em," jawab Rora tak tau harus menjawab apa.

Rora berdiri dari kasur, melangkah mendekati jendela kamar. "Kenapa aku bisa berada disini?" ucap Rora menatap lurus ke dapan.

"Memangnya kanapa kalau kau disini. Ini rumahmu," balas Devan tegas.

"Kau bilang ini rumahku." Rora mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Kau sendiri yang membuatku pergi."

"Yha, aku tau itu. Tapi sekarang aku tak akan membiarkanmu pergi." Tak ada alasan lagi untuknya untuk melepaskan Matenya itu. Ia tak ingin tersiksa lagi.

Sebuah ingatan terlintas di kepala Rora. Juan. Iya teringat jika ia sebelumnya sedang bersama pria itu. Lalu dimana dirinya sekarang? "Aku akan tetap pergi. Aku tidak bisa disini." Rora membalikkan badannya. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.

Langkah Rora terhenti. Tangannya sudah berada di cengkraman tangan kekar Devan. Pria itu membenturkannya ke tembok dan menatapnya menatapnya tajam.

Dengan suah payah, Rora menelan salivanya. Melihat Devan menatapnya  dengan jarak yang begitu dekat, membuat nyalinya menghilang entah kemana.

"Kau akan tetap di sini. Kau dengar itu, Amour," bisik Devan dengan Alpha tone tepat ditelinga Rora. Pria itu mengecup daun telinga Rora dan tanda kepemilikan yang ia buat di leher matenya itu sebelum memakai atasannya dan beranjak keluar dari kamar.

Tubuh Rora perlahan merosot ke bawah. Kakinya tak sanggup lagi menopang badannya. Tubuhnya bargetar hebat. Ia merasa ketakutan.

Merasa dirinya sudah cukup tenang, Rora segera keluar dari kamarnya. Yha, dia tetap berniat untuk keluar dari pack hous ini.

Melihat sang Luna, para Warrior dan Maid  memberi hormat. Mereka senang sang Alpha telah membawa Luna mereka kembali.

Tak memikirkan cara lain, Rora langsung saja berjalan ke arah pintu gerbang Pack haus. Ia ingin pergi dari tempat itu secepatnya.

"Luna," salam hormat para Warrior penjaga gerbang kepada Luna mereka.

"Buka pintunya," ucap Rora datar.

"Lu- Luna, anda mau kemana?" tanya salah satu Warrior berhati-hati.

"Aku mau keluar, buka pintunya!" perintah Rora dengan kekuasaan Lunanya.

"Tapi, Luna. Alpha tidak memperbolehkanmu untuk meninggalkan pack," balas salah satu Warrior yang lainnya.

"Baiklah. Kalau begitu akan aku buka sendiri." Sebelum Rora melangkahkan  kakiknya. Tangannya sudah dicengkram sangat kuat oleh seseorang.

Menyadari hal itu, ia membalikkan kepalanya, melihat siapa yang berani-beraninya menyentuh dan mencegahnya untuk keluar dari tempat itu.

Rora menatapnya. Mata yang menatapnya tajam dan tangan kokoh yang menggenggam erat tangannya. Siapa lagi yang berani melakukan itu semua jika bukan Devan.

Melihat Matenya tak inggin berada di sampingnya membuatnya marah dan kecewa. Walaupun ia tau apa penyebab wanitanya itu tidak ingin berada di sisinya lagi.

Semua ini adalah kesalahannya sendiri. Yha, Devan tau itu. Ia telah menyakiti hati Matenya dan membuatnya sangat kecewa. Tapi apa boleh buat, semua itu ia lakukan demi keamanan semua anggota pack dan Matenya itu sendiri.

"Lepaskan aku!" Rora mencoba meronta dan Devan mengeratkan cengkramannya.

"Aku bilang lepas!" Sekali lagi Rora meronta. Namun, Devan tak tinggal diam. Ia membawa Rora ke dalam pelukannya lalu mengangkat kaki wanita itu. Devan menggendong Rora ala bridal style.

Devan melangkahkan kaikinya lebar menuju kamar. Ia tak menghiraukan Rora yang masih memberontak dengan memukul-mulul lengannya.

Sesampainya di kamar, Devan menurunkan Rora di atas kasur dengan hati-hati dan langsung melangkah mundur memberi jarak.

"Baiklah, sekarang kau bisa lakukan apapun semaumu," ucap Devan melunak. Ia berdiri di hadapan Rora yang sedang duduk diam di kasur.

"Kau bisa tampar aku, kau bisa pukul aku sepuasmu." Devan menaikkan salah satu sudit bibirnya. "Bahkan kau bisa membunuhku," lanjut Devan tenang yang membuat Rora menatapnya tak percaya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

______________________________________

Hai gays..👋👋👋

🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️🏃‍♀️

Maaf soal yang tadi... 🙄🙄🙄
Yang tadi itu belom selesai, makanya aku tarik..

Dan sebagai permintaan maafnya, aku langsung lanjutin sampai selesai.
Padahal tadi udah mentok. Tapi kerena ada adegan kepencet entah kenapa bisa ada jalan...

Maaf bila ada typo bertebaran
(Selesai diketik langsung dipublis)

Jangan lupa Vote dan Comment nya.
Terima kasih
❤❤❤❤❤

My Perfect Luna (COMPLETE)  Where stories live. Discover now