Kembali

17 0 0
                                    


Tinggallah kini Heri bersama sebuah keris yang menjadi koleksi baru barang-barang antiknya. Ia memandangi kembali benda yang ditaruh di atas meja tamu. Saat mengamati, ia tercengang.

"Wah, ternyata ini bukan keris biasa. Ini mahakarya," ujar Heri pada dirinya sendiri, kemudian tangannya menyentuh dagu. "Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak akan lagi mengoleksi benda-benda berbau mistik."

Ya, sebenarnya ada sebuah alasan mengapa Heri, sang kolektor barang antik, berani menolak sebuah mahakarya ini. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengoleksi benda antik dengan aura mistik. Ia takut jika nanti tidak kuat menyimpannya, atau buruknya bakal terjadi apa-apa di keluarganya akibat menyimpan benda sekeramat ini. Sekalipun ia menyanggupi untuk menyimpan keris tersebut di rumahnya, Heri tetap harus putar otak untuk tidak memilikinya terlalu lama. Lagipula Edwin juga memberi lampu hijau ketika ia menanyakan hak kepemilikan secara penuh terhadap keris ini.

Tiba-tiba ia menjentikkan jari. "Aku tahu, kubawa saja ke Toko Kado Rifina. Aku pikir akan ada orang yang butuh kado seperti ini. Kado yang bisa menjadi kejutan untuk orang tersayang!"

Tetapi hari sudah menjelang malam. Toko kado Rifina biasa tutup jam 5 sore. Heri mengurungkan rencananya membawa barang itu ke Toko kado Rifina. Disimpannya keris titipan Edwin di dalam sebuah lemari. Malam ini barang antik itu menginap di museum barang antik milik Heri.

Saat tengah malam pukul dua pagi, tiba-tiba terdengar suara gaduh di dalam lemari. Pintu lemari tempat menyimpan keris seperti digedor-gedor oleh seseorang yang memaksa membukanya dari dalam. Suaranya nyaring dan menggema. Heri dan istrinya sontak terjaga dari tidurnya. Kengerian langsung menyelimuti mereka.

"Mas, itu suara apa?" Istri Heri berbisik lirih. Ia memeluk Heri sambil menahan takut. Tidak biasanya ia mendengar suara aneh ini, seperti ada maling yang mau memasuki rumah.

"Sstt...! Tenang, Ma. Aku akan coba lihat di ruang museum. Rasanya suara itu berasal dari sana."

Perlahan Heri keluar dari kamar, lalu berjingkat penuh waspada menuju ruangan museum. Sang istri mengekor di belakang. Seiring langkah Heri yang mendekati ruangan tersebut, entah mengapa suaranya perlahan mereda. Lalu, tepat ketika ia menginjakkan kaki di ruang museum dan matanya tertumbuk pada sebuah lemari kayu, suaranya menghilang seketika. Heri menelan ludah. Seingatnya, di lemari itulah ia menaruh keris titipan Edwin tadi sore.

Dia melihat ke sekeliling, dan hanya ada dirinya bersama sang istri. Tidak ada manusia lain selain mereka. Mendadak bulu kuduknya berdiri.

Aku yakin sekali suara tadi berasal dari lemari itu, dan jelas bukan ulah manusia, kata Heri dalam hati. Sudah kuduga, keris itu berbahaya.

Kini makin bulat tekadnya untuk menjauhkan keris itu dari rumahnya. Kejadian saat dini hari itu seperti isyarat bahwa benda itu memiliki kekuatan gaib, dan kekuatan itu tidak senang tinggal di tempat barunya. Heri ingin sekali membuangnya jauh-jauh, tetapi dia juga tidak ingin terkena karma. Ia kembali teringat idenya kemarin. Lantas Heri bergegas membawanya ke Toko kado Rifina. Tidak ada kata nanti. Hari ini juga, barang itu harus sudah tidak ada di rumahnya.

Pagi itu juga, tepat ketika toko baru buka, Heri berangkat ke Toko Kado Rifina. Toko kado ini bukan toko biasa. Ia terkenal lengkap barang-barangnya. Ibarat kata mau mencari kado meriam pun toko itu sanggup menyediakannya. Tanpa halangan berarti, Heri berhasil menjual barang yang telah membuatnya khawatir dan was-was itu. Agar pemilik toko tidak curiga, Heri menjual keris itu untuk menunjukkan bahwa itu benda normal. Rifina, sang pemilik toko, meneliti benda tersebut dengan seksama.

"Ini sungguhan ingin dijual, Pak Her?"

"Iya, Rifi," jawab Heri cepat.

"Harga dari Pak Heri kayaknya kemurahan, deh. Ini ukirannya istimewa."

Heri memasang cengiran kuda, berusaha menyembunyikan grogi. "Mau beli benda antik lain, jadi yang lama dijual biar uangnya cukup."

Perempuan itu bergumam sambil menatapnya curiga. Heri menelan ludah, berharap tidak ditanya-tanya lagi. Untung saja doanya terkabul, alasan yang terakhir ternyata dapat meyakinkan si pemilik toko. Karena keris itu sudah berpindah tangan, senyum Heri mengembang sepanjang perjalanan pulang. Saking traumanya dengan kejadian semalam, uang hasil penjualan keris tidak berani ia pakai. Alih-alih, ia bagi-bagikan kepada banyak orang, seperti para tukang becak, tukang gali gorong-gorong yang sedang mengerjakan proyek di pinggir jalan, dan para pengemis yang ia temui di dekat pasar. Heri pulang dengan perasaan lega, seolah ada gendongan sebesar tempayan di punggungnya yang baru saja terlepas.

KERISWhere stories live. Discover now