Kepergian

51 0 0
                                    


Satu minggu telah berlalu sejak Raden Mas Iqbal Hadiwijaya meninggal dunia. Masa berkabung sudah mulai surut. Simbok Fiska, istrinya, mulai merapikan barang-barang peninggalan almarhum. Ada pakaian, sarung, peci, sepatu, cincin, tasbih, dan berbagai aksesori tertata di ruang tamu. Simbok berharap barang-barang itu masih bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang membutuhkan. Banyak yang mau mengambil barang-barang itu, tetapi banyak pula yang enggan. Takut dibayang-bayangi sosok almarhum yang dipercaya memiliki kesaktian.

Raden Mas Iqbal Hadiwijaya dikenal sebagai seorang keturunan bangsawan yang disegani di kampungnya. Sebagai keturunan bangsawan ia memiliki banyak ilmu. Di antaranya ilmu kanuragan, ilmu pengobatan, juga ilmu sastra. Semasa hidupnya, orang berbondong-bondong mendatangi kediaman beliau untuk konsultasi berbagai hal, tapi sebagian besar karena ingin mendapatkan kesembuhan dari berbagai penyakit. Dengan metode pengobatan tradisional yang disinergikan dengan doa-doa spiritual, Raden Mas Iqbal Hadiwijaya dikenal luas di daerahnya. Sudah banyak penderita penyakit yang disembuhkan, sehingga banyak warga dari kampung-kampung dan pelosok-pelosok desa lainnya rela jauh-jauh datang menemuinya.

Selama hidupnya Raden Mas Iqbal Hadiwijaya tidak pernah mengalami sakit yang serius. Karena usianya yang sudah sangat tua Tuhan pun menjemputnya di usia 92 tahun. Ia menemui ajalnya tanpa banyak merepotkan keluarga.

Simbok Fiska, istrinya kini hidup menjanda. Bersyukur almarhum memberinya keturunan tiga orang anak yang kini sudah dewasa, sehingga ia tidak kesepian.

Di sisi ranjang kamar almarhum, tampak Mbok Fiska menatap tumpukan kain dan sarung yang berserakan. Baru sebagian yang sudah ia lipat rapi dan sudah dipindahkannya di ruang tamu. Tinggal membereskan tumpukan yang tersisa. Pikirannya melayang. Entah sudah berapa banyak pakaian, kain, dan sarung yang masih baru, pemberian dari orang yang berkunjung ke rumah mereka, dihibahkan kepada orang lain. Mendiang suaminya itu selain dikenal sebagai sosok yang berilmu, ia juga dikenal sangat dermawan. Pantang baginya semasa hidup memberikan pakaian bekas kepada orang lain, apalagi kepada saudara atau kerabat dekatnya.

Dari balik pintu, Edwin, anak lelaki almarhum satu-satunya datang menghampiri Simbok. Laki-laki itu kemudian duduk di sampingnya. Tangan Edwin merangkul bahu ibunya dari samping, berusaha menguatkan perempuan yang rambutnya sebagian besar sudah mulai memutih. Simbok menarik napas panjang. Ia tahu kepergian suaminya adalah sebuah takdir yang harus diikhlaskan. Masih ada Edwin dan adik-adiknya yang masih harus ia jaga, dan akan menjaganya pula di kemudian hari.

Simbok menatap dan tersenyum ke anak lelakinya. Sirat wajahnya seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Simbok kemudian bangkit, berjalan menuju sebuah lemari, lalu membuka laci kecil yang sudah bertahun-tahun terkunci rapat. Samar-samar Edwin melihat Simbok mengeluarkan sesuatu dari dalam laci. Sebuah benda, entah apa, yang terbungkus kain berwarna putih yang telah usang. Terbit rasa penasaran dalam diri Edwin. Ia merasa pernah melihat bungkusan kain itu sebelumnya, tetapi lupa kapan.

Milik Bapakkah? batinnya bertanya-tanya. Sejurus kemudian ia teringat. Ya, itu milik bapaknya. Setahunya, selama ini hanya satu orang yang pernah membuka laci itu, tak lain tak bukan adalah almarhum bapaknya. Dahulu, Edwin kecil pernah ingin membuka laci itu. Rasa penasaran menguasai dirinya. Namun, bapak terlebih dahulu memergoki, dan itu membuatnya mendapat omelan. Edwin merasa takut dan jera. Sejak saat itu ia pura-pura tak acuh dengan keberadaan laci kecil yang terkunci rapat di kamar orang tuanya.

Kini bapak sudah tiada, dan laci itu dibuka oleh Simbok. Mau tak mau rasa penasaran Edwin kembali bangkit. Rasa seganlah yang menahannya untuk tidak bertanya pada Simbok. Walaupun begitu, diam-diam ia merasa yakin bahwa itu sebuah peninggalan berharga milik almarhum bapaknya. Hanya sesuatu yang berharga yang tak boleh disentuh sembarangan, kecuali oleh pemiliknya.

KERISWhere stories live. Discover now